"Jika engkau ingin berjalan lebih cepat, pergilah sendirian; tapi jika engkau ingin berjalan lebih jauh, berjalanlah bersama-sama!"Â
Kututup buku itu setelah kalimat-kalimat ini habis kubaca. Kubuang pandangan mataku hingga ke jauh. Jauh sekali. Pikiranku berputar, melumat satu-satu, kata demi kata yang merangkai pepatah hidup di atas. Kata sang penulis, itu pepatah Bantu di Afrika sana.Â
Musim dingin masih membeku. Balutan pakaian masih menumpuk di badan. Mentari bersinar, hanya saja tidak cukup untuk menghangatkan tubuh. Kicauan burung membangunkan lamunan.Â
Manusia itu makluk sosial. Terlahir untuk bersama. Dalam kebersamaannya dengan orang lain, adanya menjadi sempurna. Untuk berjalan jauh, melangkah hingga ke mana-mana tidak cukup sendirian. Kalau mau berjalan cepat, orang lain mungkin menjadi penghalang.Â
Tiba-tiba deretan nama dan wajah para sahabat berkeliaran di pelupuk mata. Bersama mereka kami telah melangkah begitu jauh. Tanpa mereka lelah mungkin telah merasuk dan kemudian berhenti untuk melangkah. Â Â
Kubuka kembali buku bacaanku. Satu per satu buah pikiran penulis dalam ejaan kata demi kata berlalu dalam hitungan menit.Â
"Sudah saatnya kembali ke rumah!", gumamku.Â
Pekarangan kota mulai sepi. Kabut musim dingin mulai turun. Sebentar lagi malam akan datang. Pepatah Bantu itu melayang-layang di pikiran. Dalam diam kuucap syukur untuk sekian banyak sahabat yang telah berjalan bersama. Ada yang telah melangkah pergi mengikuti panggilan hidupnya, ada yang masih bersama meniti jalan yang sama. Ada yang telah sekian lama tak jumpa, ada yang baru saling mengenal.Â
"Begitulah hidup!", gumam seorang ibu tua kepada anak di sampingnya ketika kumelangkah pergi.Â
"Tidak ada yang kebetulan!", batinku.Â