Langit memikul beban berat, pekat awan bergelombang mengabarkan bahwa musim tak lagi bersahabat. Bergegas orang sekampung tinggalkan ladang sebelum awan runtuh oleh beratnya hujan. Di kejauhan sinar surya masih berkedip, satu-satu samar oleh bayangan senja yang mulai memudar. Seperti usia yang semakin memudar sejalan dengan bergantinya hari.Â
Kayu api masih mentah tertumpuk di dinding dapur. Sudah lama matahari tak ingin tersenyum. Sebentar lagi malam. Ibu belum menyalakan api di tungku. Anak-anak masih sibuk memperhatikan hewan piaraan. Adik kecil telah lama minta minum. Hidup seumpama pertandingan pada batas usia masing-masing.Â
Satu per satu anggota keluarga masuk "kandang". Seharian rumah sepi. Masing-masing giat dengan kesibukannya. Lelah meraja. Kopi hangat tentu paling pas. Atau teh untuk yang lain. Sebentar lagi keceriaan rumah pasti kembali. Tiada gelap yang berlama-lama. PAsti datang juga cahaya. Demikian pun tiada lelah pun sedih yang takkan berganti ceria. Begitulah hidup. Setiap warna punya makna.Â
Lalu malampun jatuh. Di sekitar ruang keluarga satu per satu berkisah. Bagaimana berlalunya hari dengan kisah dan kenangannya. Makanan sederhana telah siap. Ibu tidak pernah pensiun dari kesibukan tiada batas. Nilai uang terlalu kecil untuk digaji. Mungkin perhatian, rasa hormat dan terima kasih sudah lebuh dari cukup. Dan itu tentu lebih berarti.Â
Kemudian masing-masing jatuh dalam mimpinya. Atau lamunan hingga larut malam. Entah bagaimana besok. Tapi biarlah hidup berarak dalam irama dan ritmenya. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H