Menjelang magrib, orang menyebutnya senja, menjelang malam, cahaya mentari pudar, dan binar rembulan samar-samar. Di padang sabana belakang rumah, ramai terdengar ribut anak-anak desa, ramai berkejaran. Senandung magrib menyelimuti senjaku, duniaku.Â
Berbondong-bondong penghuni kampung kembali dari kebun. Junjungan di bahu dan kepala, menahan lelah. Napas satu-satu tanpa kata. Namun senyum tetap merekah. Ladang telah siap ditanam dan sebentar lagi musim hujan. Kabar baik untuk musim tanam. Lalu berharap musim petik berbuah limpah.Â
Angin sejuk datang menyapa. Kain tenun di tali jemuran minta difungsikan. Buah tangan dan jemari ibu. Tangan-tangan kokoh oleh kerja keras sepanjang musim, tidak seperti jemari lentik para pekerja kantor. Maha karya seni yang lahir dari keagungan dan keanggunan jiwa.Â
Nyanyian magrib ini buah kenangan. Dari girangnya anak-anak hingga penatnya bapak-ibu petani. Bukan sesal, bukan duka. Hanyalah syukur atas berkat kehidupan. Dalam sahaja ada berkat.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H