Lampu pelita dari kaleng coca-cola benderang dari pondok kakek Konmetan, di pondok kecil di Kampung Lama, jauh dari Kampung Baru. Konmetan duduk menganyam tali sapi dari rafia bekas yang ia kumpulkan dari pasar mingguan di pusat kecamatan. Untuk ke sana ia mesti bangun lebih subuh dari biasanya, sebelum ayam berkokok untuk pertama kalinya menyambut hari baru.Â
Terang lampu pelita dari minyak tanah benderang menerangi penglihatan kakek Konmetan yang perlahan mulai rabun. Anak perempuan semata wayangnya baru saja datang mengganti sumbu lampu yang telah hitam pekat. Ia bersama keluarga brsar menetap di Kampung Baru. Sedikit lebih maju. Konmetan memilih bertahan sendirian di Kampung Lama, apa adanya.Â
Konmetan menikmati kesendiriannya, dan masa tuanya di pondok kecil di tengah kebun, menyatu dengan alam. Ia sendiri tapi tak sendirian. Kehidupan modern tidak ia kenal, namun kehidupan alami menyatu dalam nadinya.Â
Malam kian larut. Kakek Konmetan masih sibuk menganyam. Di ujung tali sapi buatan tangannya ada kehidupan. Ia ingin menyelesaikannya malam ini juga. Besok pekerjaan lain menanti. Di usia tua ini ia tak kenal subsidi. Kakek Konmetan bagian dari generasi yang hidup dari keringat sendiri.Â
Bulan merangkak naik, menemani Konmetan dalam tidur malamnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H