Belum lama ini, media terasa gegap gempita memberitakan tentang restorasi film Tiga Dara. Film yang dianggap paling fenomenal pada masanya tersebut merupakan moment untuk menggairahkan kembali perfilman nasional. Demikian sebagian khalayak beranggapan. Dikatakan restorasi film tiga dara ini bisa menjadi gizi baru untuk perkembangan perfilman nasional. Benarkah begitu?
Saya yakin belum banyak masyarakat yang familiar dengan istilah restorasi film. Sehingga ketika ada berita yang masif tentang restorasi film tiga dara menjadi begitu terkaget dan terbengong. Mungkin kalau memakai bahasa emoticon mulutnya akan ternganga sangat lebar. Hehehe.. Tidak salah dan wajar, saya sendiri juga akan begitu saat menjumpai hal yang membuat saya terkejut dan terheran heran.
Restorasi dalam kamusnya berarti pengembalian atau pemulihan pada keadaan semula. Gampangnya restorasi film itu ya aktivitas untuk mengembalikan kondisi film seperti pada saat film tersebut dibuat. Untuk restorasi film di Indonesia sebenarnya sudah ada inisiasi sejak tahun 201ian. Tapi akhirnya terwujud pada tahun 2012, yaitu dengan restorasi film “Lewat Djam Malam”. Setahun kemudian film “Darah dan Doa”.
Keduanya adalah film yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Dan yang ketiga adalah film Tiga Dara ini. Yang menjadi pertanyaannya, kenapa restorasi film “Tiga Dara” ini terkesan sangat heboh? Padahal sebelumnya juga sudah ada restorasi film yang bisa dikatakan sejaman. Bahkan jika dilihat dari senioritas sebuah film, “Darah dan Doa” merupakan tonggak sejarah film nasional. Karena awal syuting film inilah, yang dijadikan sebagai Hari Film Nasional.
Ada beberapa hal yang mungkin bisa dirangkai menjadi sebuah puzzle berisi sebuah gambaran tentang restorasi Tiga Dara ini.
Sejarah Film Tiga Dara.
Film garapan Bapak Film Indonesia ini sebenarnya bisa dibilang sebagai film “kekafiran”Usmar Ismail pada idealisme yang dia pegang di dunia perfilman. Pada pasca kemerdekaan dulu, sudah banyak bertebaran film. Film yang berkiblat pada Hollywood yang notabene mengusung nilai kebaratan dan film yang bercorak Tionghoa, yang lebih kental unsur lokal dan etnis. Sutradara yang mantan tentara ini mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Setelah selesai kuliah sinematogafi di Los Angeles, Usmar Ismail pun membuat film film yang bertema nasionalisme.
Yang pertama “Darah dan Doa” yang berisi tentang kisah seorang tentara dari pasukan siliwangi, dan yang lainnya. Tapi hukum ekonomi akhirnya memaksa dia untuk murtad dari ideaslimenya. Film yang selama dibuat penuh dengan estetika realis, karena dia terinspirasi gaya neo realis itali, di pasaran tidak begitu laku. Yang tentu saja mengancam keuangan Perfini yang dia kelola sebagai kendaran memproduksi film.
Akhirnya dengan berat hati, dia membuat film dengan mempertimbangkan nilai komersil. Dengan mengambil inspirasi film Three Smart Girls sebuah film musikal Hollywood karya Henry Koster yang penuh dengan tarian dan nyanyian. Salim Said dalam bukunya bahkan menyebutkan, ada rekan Usmar Ismail, D Djayakusuma, mengatakan bahwa Usmar Ismail sebenarnya sangat malu membuat film Tiga Dara ini. Bahkan dalam pembuatannya, Usmar Ismail berniat menjual film yang sedang digarapnya itu.
Tapi nyatanya kesuksesan yang terlihat itu tidak berdampak signifikan bagi keuangan Perfini, Rumah Produksi pimpinan Usmar Ismail tesebut. Dan sejak menggarap film Tiga Dara ini, Usmar Ismail dengan Perfini-nya tidak lagi mengerjakan film yang sesuai dengan idealismenya. Kata sebagain orang, film Tiga Dara menginspirasi Usmar Ismail membuat film film pop yang tentu saja acuannya untuk komersil. Dengan demikian apakah idealism Usmar Ismail “tergadai” karena situasi yang tidak bisa dihindari? Atau memang Usmar Ismail bukan Usmar Ismail yang seperti di awal dia membuat film?