Kau pandangi aku lekat tidak percaya.
Lalu menatap langkah langkah di seberang jendela.
Seperti biasa, kau mendiamkanku untuk tenggelam di duniamu sendiri.
Melepaskan kepala dari wadagmu,lalu kau tumpahkan semua isi kepala di atas meja.
Sedang aku hanya menjadi penonton tanpa bisa bergerak.
Terkadang kau lirik aku lalu melipat dahi, tersenyum dan bermuram.
Hei... Kenapa engkau ini? Engkau bukan antagonis atau protagonis.
Yang harus berpayah payah mengerutkan dahi sehingga wajahmu hilang di meja ini
Engkau hanyalah seorang Sumbadra
Yang cukup duduk dan bercerita tentang naskah yang dibacakan.
Sesekali menuliskan
Lagi lagi kau tatapi aku lekat tanpa kedip
Mencoba mengibas uap uap yang berkelebat.
“Kenangan penuh rindu,” katamu.
Ku terkekeh penuh kemenangan
Aku di sini memang ada untuk menyimpan dan mencipta jejak.
Dengan kepulan uap atau hangat yang mengalir ke dalam lehermu.
Sekarang kau menatapku tiada kedip.
"Latte ini terlalu indah untuk diaduk. Ahh biarlah sampai dingin. Aku masih akan masih tetap di sini," katamu
Ahh, untuk apa aku di sini jika hanya untuk memberimu sepi?
Ambillah gula tanpa kenangan itu agar bisa engkau nikmati mimpi mimpi yang kau tulis di tepi malam itu
Atau engkau memang tidak mau beranjak pergi? Dan hanya tersenyum pada jejak jejak yang tergambar di ruangan ini?
Jemari lentikmu meraih cangkir.
“Tidak, aku tidak akan berhenti pada jejak kemaren. Biar ku nikmati hangatmu. Meski tanpa gula atau krimmer."
Bibirmupun menyentuhku. Hangat. Merasukkan aku ke dalam lehermu, lalu ke dadamu.
Menyebar ke dalam setiap pori kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H