Pulau Dewata kini mulai pulih. Setelah sekian lama nyaris lumpuh akibat pandemi. Turis lokal dan mancanegara sudah mulai pelesir ke sana. Setelah sekian lama rindu Bali. Usaha kecil dan menengah juga perlahan bangkit. Setelah sekian lama berpuasa transaksi. Perekonomian berbasis pariwisata pun menuju tumbuh. Setelah sekian lama lesu.
Betapa pun Covid masih belum lenyap, Bali harus tetap prima. Bahkan mesti bertambah superior. Maka, rupa-rupa dukungan dibutuhkan oleh Bali. Juga daerah lain. Yang tengah sama-sama menuju pemulihan. Pun dukungan itu mesti digelar oleh seluruh pemangku kepentingan. Pula, sokongan ini mesti mengalir ke seluruh sektor. Utamanya ke bidang yang beririsan dengan wisata.
Sektor pariwisata, Anda sudah tahu, sangat elastis terhadap kecukupan infrastruktur. Sarana-prasarana penunjang pariwisata ada yang sifatnya antisipatif, ada pula yang akseleratif. Bali, sebagai objek pariwisata internasional, mesti mengantisipasi segala-gala kemungkinan yang bisa mendelegitimasi reputasinya sebagai tujuan pelesir kelas dunia.
Sebagai misal, bagaimana jika di musim hujan ini, episentrum wisata di Denpasar banjir, lalu berita itu meluas hingga ke telinga para turis di luar negeri? Bukankah kabar itu akan mengerdilkan rencana turis datang dan berjemur di pantai? Akan bagaimana citra Bali? Apa kata dunia?
Karenanya, perlu antisipasi. Ya, antisipasi yang nyata. Dalam bentuk infrastruktur penahan banjir, misalnya, sebagaimana pembangunan bendung Tukad Mati di Badung. Prasarana yang dibiayai oleh APBN melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Proyek tersebut dimaksudkan untuk pengendalian banjir di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, termasuk area Kuta, Seminyak, dan Legian yang menjadi pusat kegiatan pariwisata internasional.
Sebelum dikembangkan, Tukad (sungai) Mati yang memiliki panjang 22,5 km tersebut sudah tidak mampu menampung debit air di saat hujan lebat, apalagi ditambah terjadinya rob dari muara. Dengan adanya penataan dan normalisasi sungai serta dibangunnya bendungan itu, potensi banjir area ini akan lebih mudah diantisipasi. Sekurang-kurangnya, proyek ini akan mengurangi risiko banjir seluas 35 hektar di hilir dan 60 hektar di bagian tengah bentang sungai.
Soal membangun bendungan/tanggul, kelihatannya tak fantastis. Namun, dalam kacamata tinggi-luas, bendung Tukad Mati sungguh mendasar dalam ekosistem pariwisata Bali. Soal pengendalian banjir, ada di sana. Tentang pelestarian mangrove dan satwa, juga ada di sana. Mengenai maksimalisasi sistem drainase perkotaan, pun itu ada di sana. Dan lain-lain. Yang seluruhnya berujung pada Pulau Bali yang tertata, sehat, dan nyaman buat beraktivitas. Ujung-ujungnya, ikhtiar pemulihan sosial-ekonomi di tengah penurunan wabah bakal lebih percaya diri. Utamanya dari mesin pariwisata yang powerfull.
***
Bendung gerak Tukad Mati sejatinya hanyalah satu cermin. Tentang bagaimana pembiayaan kreatif dan inovatif berbasis syariah ditunaikan. Yakni SBSN yang diterbitkan untuk secara langsung membiayai kegiatan/Sukuk Proyek yang telah dialokasikan dalam APBN. Pembangunan ini dibiayai melalui SBSN tahun jamak dari tahun 2017 -- 2019 dengan total alokasi SBSN yang digunakan sebesar Rp319 miliar.
Tukad Mati juga menjadi cermin betapa pembangunan infrastruktur dasar merupakan variabel sangat penting untuk mengantisipasi risiko datangnya musibah---dalam hal ini banjir, sekaligus pada saat bersamaan mengakselerasi perekonomian Bali, khususnya dalam menopang sektor pariwisata di tengah kecamuk wabah Covid-19.