“You educate a man; you educate a man. You educate a woman; you educate a generation.”
― Brigham Young ―
Indonesia memperingati tanggal 22 Desember sebagai hari Ibu, dimana Presiden Soekarno meresmikannya melalui payung hukum Dekrit Presiden No. 316 thn. 1953. Tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya tanggal 22 Desember tersebut sebenarnya diambil dari Kongres Pertama Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember 1928, beberapa bulan setelah Kongres pemuda-pemudi dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Kongres Pertama Perempuan Indonesia dilakukan di Yogyakarta dan dihadiri oleh 30 Organisasi Wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Kongres dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.
87 tahun telah berlalu, tak banyak dari kita lupa atau bahkan tidak tahu makna dibalik hari Ibu, kecuali bahwa pada hari tersebut, kita akan mengingat, merenung dan atau memberi ucapkan selamat kepada Ibu kita (jarang sekali untuk Ibu Mertua tentunya hahahaha). Lepas dari kegiatan diatas, sadar tidak sadar, tanggal peringatan tersebut telah memperkedil makna sesungguhnya Kongres tersebut diadakan, yakni meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan, mengapa? Pada tahun 1928, hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan bebas menikah dengan orang dicintainya merupakan barang langka nan mewah. Kalau boleh dianalogikan, hak tersebut selangka badak bercula satu yang hampir punah di hutan nasional ujung kulon.
Generasi saat ini, seperti anak saya, bahkan tidak bisa melogikakan kelangkaan tersebut. Bagi mereka, pendidikan untuk anak perempuan adalah sesuatu yang lumrah dan mereka hampir tidak bisa membayangkan bahwa dulu kala, sekolah hanya diisi oleh anak laki-laki, sementara perempuan yang mendapat pendidikan seperti R.A. Kartini, hanyalah segelintir tidak lebih dari jumlah jari tangan di setiap kabupaten di Indonesia.
Hal kedua yang diperjuangkan oleh kaum perempuan Indonesia saat itu adalah hak untuk bebas menikah dengan pria yang dicintainya. Lagi-lagi, generasi sekarang sekarang tergagap-gagap, ketika mengetahui bahwa peran ortu jaman itu, sekeras besi terhadap pernikahan anaknya, apalagi jika anak mereka adalah anak perempuan. Situasi itulah yang membuat generasi sekarang bingung membaca novel Siti Nurbaya, karena peran ortu yang dianggap terlalu berlebihan bagi jaman sekarang, namun lumrah pada masa itu.
Perkembangan perjuangan perempuan telah sampai pada satu titik yang dapat dikatakan telah sama, equal, dengan pria pada masa Indonesia sekarang. Diskriminasi berdasarkan kelamin, meski terdengar, namun bisa diperjuangkan dan digugat. Pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan mendapatkan tempat dalam undang-undang, dan yang lebih penting perjuangan atas hak terhadap perempuan telah mengalahkan isu-isu perjuangan terhadap hak yang lain, misalnya kebebasan beragama.
Atas dasar tersebut, saya menyarankan bahwa tanggal 22 Desember jangan dikerdilkan maknanya sebagai hari Ibu saja, namun tanggal tersebut wajib diperingati sebagai Hari Perempuan Indonesia, dimana pada hari tersebut tonggak perjuangan kaum perempuan Indonesia secara kontinyu dalam sejarah bangsa ini dikumandangkan agar para perempuan mampu mencapai cita-citanya sebagai makhluk yang sederajat dan tak ada bedanya dengan kaum pria. Selamat hari Perempuan untuk ibu, ibu mertua, istri dan Anak-anak saya, serta semua perempuan di seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H