“Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies.”
― Groucho Marx ―
Tulisan media massa baru-baru ini seakan memberikan "minyak gas" ke dalam api yang sudah mulai mengecil, saya katakan memberikan "minyak gas" bukan "bensin" karena sifat minyak gas yang kadang jika ditumpahkan terlalu banyak, malah membuat apinya padam, berlainan dengan sifat bensin. Balik lagi ke tulisan-tulisan media massa, isu-isu untuk memundurkan "Best Friend Forever" Setya, yakni Fahri Hamzah dan Fadli Zon dari kursi pimpinan Yang Mulia DPR RI, tumpah ruah bak konspirasi dalam mengumpulkan pendukung, kentara mewarnai media massa beberapa hari ini. Mungkin isu ini digulirkan untuk "testing the water" opini dari masyarakat atau malah memang mulai menggalang agar isu ini bisa dijadikan gelundungan bola salju di kemudian hari, entahlah, mungkin hanya guru mas Ninoy, Ki Sabdo Pandito Ratu yang bisa menjelaskan jaringan kerja samar-samar dari The Silent Operators heheheheh....
Sebagai pengamat sejarah amatiran, saya sering membayangkan jika sesuatu terjadi dan mengubah jalannya sejarah, pengamat sejarah amatiran seperti saya bahkan bermimpi jika seandainya JFK dulu tidak ditembak mati, apakah istrinya yang cantik jelita (pada saat itu), Jacqueline Kennedy Onassis, bakal diceraikan dan diganti dengan Marilyn Monroe, atau jika saja Einstein tidak berhasil menemukan teori relativitasnya yang akbar itu tepat pada waktunya, mungkin Jepang tidak harus menelan kalimat "Unconditional Surrender" yang luar biasa memalukan tersebut. Nah....dalam kasus lengsernya Yang Mulia eks. Ketua DPR terus diskenariokan akan disusul dengan turun-nya para BFF-nya, saya jadi tertawa geli membayangkan hal yang mungkin terjadi.
Kejadian yang saya bayangkan adalah DPR tidak lagi menarik, karena absen-nya mereka. Tidak ada selfie bersama dengan orang narsis bin rasis dari negeri seberang benua, yang apesnya dijadikan calon peserta konvensi presiden oleh salah satu partai disana. Tidak akan terdengar lagi komentar pedas-pedas lucu ataupun lucu-lucu pedas terhadap tindakan yang dilakukan Presiden dan Kabinetnya. Tidak ada lagi komedi kata seperti "siapa pendukung Presiden?" yang bisa bikin mati ketawa komika sekelas mongol dan raditya dika atau Mentalis kata-kata bak merubah kedelai jadi tempe, tempe jadi dadar jagung dalam hitungan jam dan diselubungi asap penjungkir balikan interpretasi atas Undang-Undang.
Dalam bayangan saya, jika para BFF Yang Mulia eks. Ketua DPR itu digantikan, maka penggantinya bakal orang-orang "jaim" yang kerjanya mungkin memakai topeng didalam topeng. Tidak ada lagi "kepalsuan" yang terang benderang, tidak ada lagi peran "negatif" (saya tandai kata negatif, karena ini dilihat dari sudut pandang saya, sementara orang lain mungkin melihatnya dari sudut pandang yang lain) yang konsisten dilakukan oleh BFF mantan tersebut yang akan mewarnai kehidupan berpolitik negara ini, rasanya jadi kayak makan sup tanpa garam atau makan iwak peyek yang tidak digoreng garing.
Gabungan Yang Mulia Mantan Ketua dan para BFF sebagai wakilnya, mau tidak mau harus diakui telah mewarnai perjalanan sejarah panjang bangsa ini, sama percis seperti kejayaan Trio Kwek Kwek dengan lagu anak-anak di era 90an. Bedanya adalah di peran antagonis yang ditunjukkan mereka, namun jangan salah, mereka juga punya "lover" dan "hater", sama seperti peran protagonis dari Jokowi. Dalam hal ini saya berpikir, peran mereka sudah pas mewarnai jalan panjang sejarah ini, berbeda itu biasa, apalagi peran yang berbeda, entah peran protagonis ataupun antagonis, masing-masing punya kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri, mereka seperti Yin dan Yang yang akan saling mengimbangi satu dengan yang lainnya.
Akhir kata, tidak ada yang suka menonton film yang didalam alur ceritanya tidak terisi peran antagonis, karena itu, film yang berisi satu peran saja tidak pernah tercipta dalam peradaban Manusia. Dua karakter tersebut, protagonis dan antagonis akan selalu mewarnai Dunia. Dalam panggung politik, saya tidak mau terjebak dengan kalimat yang baik akan mengalahkan yang jahat, sebab sebenarnya tidak ada yang baik, tidak ada yang jahat, hanya ada kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan. Apakah kepentingan melanggengkan kekuasaan itu jahat atau baik? Saya tidak berhak menjawabnya namun terkesan dengan tontonannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H