Asia Tenggara adalah kawasan yang kaya akan keanekaragaman kuliner dan sumber daya alam. Namun, sayangnya, fenomena food loss and waste juga menjadi masalah serius di kawasan ini. Perilaku menyisakan dan membuang makanan nampaknya adalah hal sepele bagi masyarakat.
Data dari Program Lingkungan PBB (UNEP) mencatat sebanyak 931 metrik ton makanan diperkirakan terbuang setiap tahunnya. Total tersebut mestinya cukup untuk memberi makan orang-orang kelaparan di dunia. Jika dilihat dalam skala global, setidaknya 61 persen sampah makanan tersebut lahir dari limbah rumah tangga. Asia Tenggara sendiri, rata-rata setiap orang berkontribusi sebanyak 82 kg sampah makanan di tingkat rumah tangga dalam kurun waktu satu tahun.Â
Mari kita lebih mengenal istilah food loss and waste...
Food loss and waste adalah istilah yang mengacu pada hilangnya atau terbuangnya makanan dari berbagai tahapan rantai pasokan, mulai dari produksi pertanian hingga konsumsi akhir. Fenomena ini mencakup kehilangan makanan yang terjadi karena sejumlah faktor, seperti penanganan yang tidak tepat, penyimpanan yang buruk, atau kelebihan produksi yang tidak dimanfaatkan.
Food loss terjadi pada tahap produksi, pemanenan, dan pengolahan makanan sebelum mencapai tahap distribusi atau konsumsi. Ini dapat terjadi karena faktor-faktor seperti cuaca buruk, hama dan penyakit tanaman, atau infrastruktur yang kurang memadai. Food waste di sisi lain, terjadi pada tahap distribusi, perdagangan, dan konsumsi akhir. Ini termasuk makanan yang terbuang di restoran, supermarket, dan rumah tangga. Food waste juga dapat terjadi karena kebiasaan konsumen yang membuang makanan yang masih bisa dikonsumsi atau karena tanggal kedaluwarsa.
Sampah makanan (food waste) seringkali terjadi di negara maju atau wilayah berpendapatan tinggi. Â Sedangkan kehilangan pangan (food loss) menjadi masalah serius di daerah pedesaan. Pada 2021, sebanyak 13,2% makanan hilang selama proses panen dan pengiriman ke konsumen. Di kawasan Asia, sekitar 40% kasus food loss and waste pada tahap pasca panen.
McKinsey dalam analisisnya mengatakan mengurangi 40 persen kehilangan hasil panen pasca panen di Asia Tenggara setara dengan memperoleh hasil pangan dari 1,8 juta hektar lahan. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara dengan kasus food loss and waste paling banyak di dunia selain Arab Saudi dan Amerika Serikat.Â
Data dari Bappenas, sampah makanan di Indonesia pada kurun tahun 2000 hingga 2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115 - 184 kilogram per kapita. Ditambah data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021 menyebutkan dari semua jenis sampah, sampah sisa makanan adalah paling banyak sebesar 29,1 persen.
Fenomena ini adalah masalah global yang memiliki dampak serius pada lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ini menyebabkan pemborosan sumber daya alam, emisi gas rumah kaca, dan berdampak pada ketahanan pangan dan ketimpangan sosial. Pengurangan food loss and waste merupakan bagian penting dari upaya untuk mencapai keberlanjutan dan keadilan pangan di seluruh dunia. Ini membutuhkan kerja sama dari seluruh rantai pasokan makanan, termasuk petani, produsen, distributor, pedagang, konsumen, dan pemerintah.
Alangkah lebih baiknya kita mendengarkan kata ibu,
"Nasinya dihabiskan, kalo enggak nanti nasinya nangis lho"