Pernikahan adalah persatuan komprehensif yang unik. Ini melibatkan penyatuan hati dan pikiran, tetapi juga secara khusus persatuan tubuh yang dimungkinkan oleh kebutuhan seksual. Pernikahan menyatukan seorang pria dan seorang wanita secara holistik---secara emosional dan fisik, dalam tindakan cinta suami-istri, dan dalam diri anak-anak, cinta tersebut melahirkan. Tetapi, pandangan mengenai pernikahan ini dapat dimaknai berbeda pada setiap pasangan yang menjalinnya. Objektivitas bukan terletak pada pernikahan, tapi pada masing-masing subjeknya. Dengan demikian, berikut beberapa pemaknaan mengenai pernikahan:
1. Pernikahan Sebagai Tujuan Biologis
Pada dasarnya, pernikahan itu untuk mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan satu sama lain sebagai suami-istri untuk menjadi ayah dan ibu bagi anak yang dihasilkan dari reproduksi. Pernikahan menghubungkan orang dan barang yang sebaliknya cenderung terpecah-pecah. Ini membantu menghubungkan seks dengan cinta, pria dengan wanita, seks dengan bayi, dan bayi dengan ibu dan ayah (John Corvino and Maggie Gallagher, Debating Same-Sex Marriage (Oxford, U.K.: Oxford University Press, 2012), p. 94).
2. Pernikahan Sebagai Tujuan Sosial
Dalam fakta reproduksi biologis, seorang ibu selalu ada pada saat seorang bayi dilahirkan. Peran ibu jelas untuk merawat dan mendidik si anak agar bertumbuh dengan matang. Sedangkan peran ayah masih dipertanyakan. Apakah ayah bisa cukup berperan? jika ia berperan, seberapa besar perannya terhadap bayi? Peran laki-laki dalam pernikahan yaitu berkomitmen kepada wanita yang membantu reproduksinya dan anak yang merupakan hasil reproduksi mereka. Menghubungkan seks, bayi, serta ibu dan ayah adalah fungsi sosial pernikahan. Maggie Gallagher menangkap wawasan ini dengan frasa singkat: "[S]ex membuat bayi, masyarakat membutuhkan bayi, dan anak-anak membutuhkan ibu dan ayah." (Ibid., p. 116).
Saling melengkapi antara pria dan wanita adalah penting untuk bagaimana mereka membesarkan anak-anak. Tidak ada yang namanya "mengasuh anak". Ada ibu, dan ada ayah, dan anak-anak melakukan yang terbaik dengan keduanya. Sementara laki-laki dan perempuan masing-masing mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anak mereka, rata-rata ada perbedaan dalam cara ibu dan ayah berinteraksi dengan anak-anak mereka dan peran fungsional yang mereka mainkan. Kedua jenis kelamin berbeda pada intinya, dan masing-masing diperlukan, secara budaya dan biologis, untuk perkembangan optimal manusia.
3. Pernikahan Dibawah Hukum dan Norma
Dalam beberapa dekade terakhir, pernikahan telah dilemahkan oleh pandangan revisionis tentang pernikahan yang lebih mementingkan keinginan orang dewasa daripada kebutuhan anak-anak. Jika pernikahan hanyalah didasarkan pada tingkat emosional yang intens, norma perkawinan tidak akan masuk akal sebagai masalah prinsip. Prinsip tidak dapat menjamin persatuan emosional menjadi permanen. Atau terbatas pada dua orang. Atau seksual, apalagi eksklusif secara seksual (berlawanan dengan "terbuka").
Pasangan mungkin menjalankan norma-norma ini di mana temperamen atau selera memotivasi mereka, tetapi tidak akan ada prinsip bagi mereka untuk melakukannya dan tidak ada dasar hukum yang memotivasi secara emosional untuk melakukannya. Dengan kata lain, jika saling melengkapi secara seksual adalah opsional dalam pernikahan, ada hanya jika disukai, maka hampir setiap norma lain yang memisahkan pernikahan adalah opsional. Pada intinya, pernikahan tetap ada dijalur hukum sebagai dasar komitmennya.
Â
Kebebasan Dalam Eksistensialisme SartreÂ
Jean Paul Sartre merupakan filsuf eksistensialisme yang terkenal pada abad XX . Ia berasal dari Perancis dan pemikirannya tentang 'aku dikutuk oleh kebebasan' sangat ikonik dalam filsafat eksistensialisme ini. Aliran filsafat Jean Paul Sartre berfokus pada individu manusia. Eksistensialisme tersusun dari kata-kata eks (keluar), sistere (ada), me (aliran). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi artinya "paham (nya) berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar" (dalam Sazza, 2014).
Menurut eksistensialisme, manusia itu mahkluk yang "keluar", manusia bisa dipisahkan dari mahkluk non manusia lainnya jika dilihat dari keberadaanya. Di dunia ini hanya manusia yang memiliki eksistensi, mahkluk lain yang non-manusia tidak memilikinya. Dikarenakan cara berada mahkluk non-manusia itu tidak dianggap bereksistensi, tidak seperti cara berada manusia. Manusia menunjukkan eksistensinya dengan berpribadi secara khusus dan beragam, kekhasan manusia
Manusia yang dipandang bereksistensi di dunia ini tidak hanya terfokus pada cara beradanya sendiri, cara bereksistensinya sendiri. Melainkan, manusia harus melihat relasi dengan lingkungannya, mahkluk non manusia lainnya, meskipun cara berada mahkluk non manusia itu tidak dapat dikatakan bereksistensi. Hal tersebut dikarenakan oleh hakekat manusia sebagai mahkluk sosial, mahkluk yang hidup beriringan dengan lingkungannya. Dalam dunia inilah manusia dapat dikatakan memiliki cara berada yang unik, berbeda antara manusia satu dengan yang lainnya.
Dalam pandangan eksistensialisme Sartre, ia menganggap bahwa hubungan manusia merupakan konflik dan manusia bisa secara bebas menghadapi konflik tersebut. Eksistensialisme menurut Sartre merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek. Dalam bukunya L'Etre et l'Neant, Sartre melihat eksistensi manusia itu dalam kenyataan sebagai etre-en--soi dan etre pour-soi. Kedua kenyataan itu merupakan dua kenyataan tentang 'kesadaran' dan 'yang disadari', yang saling berhadapan dan bertentangan
Etre-en-soi
Etre-en-soi atau ada pada dirinya. Pada kenyataan ini, manusia tidak menyadari perannya sebagai subjek maupun objek. Ia bukan subjek karena ia tidak memiliki kesadaran yang dapat digunakkan. Ia juga bukan objek karena ia tidak sadar akan kedudukannya sebagai objek. Keadaan etre-en-soi ini netral, tidak meng-ia-kan dan tidak menyangkal juga. Ia tidak sadar akan lingkungannya. Tidak mengerti dan tidak mempertanyakan apapun. Ia hanya penuh dalam dirinya sendiri tanpa adanya interaksi dengan hal lain apapun.
Etre-en soi dapat dikatakan sebagai dunia benda-benda, dunia objek. Manusia yang dilepaskan dari kesadarannya, maka ia akan dipandang sebagai objek, etre-en-soi. Nah manusia yang termasuk ke bagian etre-en-soi, manusia yang tidak ada kesadaran, maka manusia tersebut akan masuk sebagai objek kesadaran manusia. Dalam tahap ini, manusia sudah "merasa" penuh atau "puas" hidupnya, manusia tidak akan mencari makna dan bertanya akan segala hal.
Etre-pour-soi
Etre-pour-soi atau ada untuk dirinya. Manusia di kenyataan ini sadar akan segala sesuatu, sadar adanya dirinya itu sebagai subjek, dan menyadari adanya objek sebagai etre-en-soi. Manusia akan mempertanyakan apa saja dan berusaha mencari jawabannya, manusia memiliki kesadaran sebagai subjek, tidak hanya kesadaran instingtif. Dengan pikirannya yang sadar, ia akan mencari makna segala sesuatu. Dalam etre-pour-soi, manusia memiliki pikiran yang sadar akan dirinya sebagai subjek dan memiliki objek dalam pengamatan dan pemikirannya. Dengan adanya  etre-pour-soi, manusia akan mempertanyakan dunia benda-benda, dunia objek, etre-en-soi, yang mana nantinya akan membuka sebuah kemungkinan bahwa etre-en-soi hanyalah berupa penyangkalan atau peniadaan. Saat etre-pour-soi sebagai subjek memandang etre-en-soi sebagai objek, maka etre-pour-soi akan mengadakan peniadaan terhadap etre-en-soi.
Kebebasan Yang Menghukum
Kebebasan yang dimiliki etre-pour-soi dikarenakan manusia dapat mencari kemungkinan-kemungkinan, melakukan penyangkalan atau peniadaan terhadap segala sesuatu yang berbeda satu dengan yang lain dengan kesadarannya. Manusia tidak akan pernah memiliki identitas yang pasti, karena kemungkinan-kemungkinan yang berubah setiap saat. 'L'existence prcde l'essence', yang artinya eksistensi mendahului esensi, manusia harus eksis terlebih dahulu baru manusia bisa menemukan esensi yang berupa kebebasan tersebut. Manusia bebas mengadakan penyangkalan terus menerus terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sesuatu di luar dirinya setiap saat, karena manusia memiliki kemampuan untuk sadar akan setiap perbedaan atau ketidaksamaan. Contoh kasus, si A menyadari temannya yang sekarang adalah orang yang baik, tidak sama saat 5 tahun yang lalu, temannya adalah seorang penjahat. Nah kemampuan untuk sadar akan perbedaan yang dirasakan si A akan temannya itu dan saat si A melakukan penyangkalan tersebut merupakan letak kebebasan manusia. Si A memiliki kemauan bebas untuk melakukan penyangkalan tersebut dan melakukan peniadaan terhadap temannya 5 tahun yang lalu.
Meski begitu, kebebasan itu tidak benar-benar bebas. Sartre mengatakan "aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas" (T.Z Lavine, Op.Cit, h. 350). Manusia yang bebas akan melakukan penyangkalan dan peniadaan terus menerus untuk mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Akan muncul rasa cemas akibat ketidakpuasan dalam mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Sebenarnya, dalam diri manusia ada keinginan untuk merasa puas, merasakan apa yang dirasakan etre-en-soi. Manusia ingin berhenti dan beristirahat dari perbuatan penyangkalan dan peniadaan tersebut. Tetapi, hal ini memungkinkan jika manusia meletakkan kesadarannya. Itulah mengapa Sartre menganggap setiap manusia adalah kegagalan, karena dalam diri manusia itu sebenarnya kosong, tidak dapat memenuhi rasa puasnya. 'L'homme est condamne a etre libre', yang artinya dengan kebebasannya, manusia sadar bahwa ia terhukum.
Etre-pour-arturi
Etre-pour-arturi merupakan hubungan intersubjektivitas yang gagal, hubungan antara subjek-subjek tidak dapat berjalan. Manusia bisa menjadi subjek, juga bisa dikatakan sebagai objek. 'No man is an island', yang artinya tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri. Contohnya hubungan anak ibu, suami istri, sahabat. Nah dalam hubungan tersebut, dapat dilihat apakah manusia berperan sebagai objek atau subjek. Disebut 'subjek' bila ia melakukan peranan aktif dalam mengarahkan perhatiannya terhadap sesuatu. Disebut 'objek' bila ia menjadi sasaran pasif dari subjek, sasaran dimana subjek mengarahkan perhatiannya kepada si objek. Objek merupakan sesuatu yang tidak bergantung pada subjek. Objek eksis tanpa adanya pengaruh dari pemikiran atau perasaan seseorang. Objek ada apa adanya, tanpa kesadaran. Sartre mengatakan bahwa hubungan intersubjektivitas ini merupakan sesuatu yang gagal. Hal ini dikarenakan dalam kesadaran manusia, hubungan subjek-subjek tidak bisa terjadi, melainkan hanya hubungan subjek-objek. Hubungan antara etre-pour-soi menyangkut peran manusia, apakah ia berperan sebagai subjek atau objek.
Sartre sangat berfokus pada ke 'diri' an atau individu manusia. Baginya 'yang lain itu' merupakan sesuatu yang asing, walaupun hubungannya dekat dengan seorang 'aku'. Seorang 'aku' baru sadar mengenai diri sendiri apabila dia mengetahui pandangan orang lain (le regard d'atrui) mengenai dirinya. Dari situ, dapat disebut 'aku' sebagai subjek yang telah mengobjektifkan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Sehingga orang lain pun akan menjadi en-soi bagi 'aku', dan sebaliknya seorang 'aku' akan menjadi objek dari 'aku' yang lainnya. Hubungan intersubjektivitas senantiasa menjadi konflik karena antara aku yang satu dan aku yang lain saling mengobjektivasi dengan menggunakan kesadaran masing-masing.
Pernikahan Dalam Pandangan Eksistensialisme Sartre
Pernikahan tidak hanya sekadar proses penyatuan laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri. Dibalik pernikahan, setiap orang memaknainya dengan kesadaran yang berbeda-beda. Setiap orang yang terlibat dalam pernikahan, memiliki kebebasan sebagai etre-pour-soi untuk memaknai hubungan mereka. Tetapi, apakah di dalam pernikahan tersebut ada kebebasan? Jika ada, siapakah pihak yang mengalami kebebasan tersebut? Sebenarnya kebebasan yang benar-benar bebas itu tidak ada. Kita manusia bebas untuk menggunakan kesadaran kita dalam menentukan peran kita dalam sebuah eksistensi. Namun, jika mengingat kutipan dari Sartre, 'aku dikutuk oleh kebebasan', dalam pernikahan ini, baik suami, istri, dan anak akan dikekang untuk selalu mengaktualisasikan kebebasan tersebut.
Hubungan intersubjektivitas yang dikemukakan Sartre dianggap sangat pesimistik. Hubungan antara subjek-subjek tidak akan pernah berhasil. Jadi, hubungan dalam pernikahan, hubungan suami-istri, ibu-anak, dan ayah-anak, sebenarnya tidak pernah menjadi hubungan subjek-subjek, melainkan hanya sebatas subjek-objek. Suami akan meng-objek-kan istrinya untuk kepentingan si suami. Kepentingan untuk reproduksi, kepentingan untuk mengurus rumah tangga, kepentingan untuk melayani si suami, dll. Di satu sisi suami memiliki kebebasan untuk meng-objek-kan istrinya, tetapi di sisi lain dia akan terus-menerus menyangkal dan meniadaan kemungkinan-kemungkinan lain. Kemungkinan dimana seorang istri bisa sebagai kepala rumah tangga, dimana sang istri bisa menjadi tulang punggung keluarga, dan masih banyak kemungkinan lainnya yang disangkal. Begitu sebaliknya, jika istri yang meng-objek-kan suaminya, maka si suami akan menjadi objek dalam pandangan istri.
Penyangkalan dan peniadaan akan membawa kita untuk terus menerus melakukannya pada hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita, atau tidak masuk akal menurut kita. Kita akan selalu terkekang dengan selalu melakukan penyangkalan dan peniadaan tersebut, terkekang dengan kebebasan itu sendiri. Justru sebaliknya, jika kita menjadi etre-en-soi, kita tidak akan bisa mengaktualisasikan kebebasan tersebut, kita bukanlah objek maupun subjek, kita tidak eksis. Maka dari itu, hakikat manusia untuk mencapai kebebasan sebenarnya tidak ada. Dalam pernikahan pun tergambar seperti hubungan intersubjektivitas tersebut, dimana kita mengekang pasangan atau anak kita untuk kepentingan diri sendiri, tetapi kita terkekang dengan kesadaran kita untuk mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Jika dilihat lagi dalam pandangan Sartre, sebenarnya hakikat manusia adalah bebas itu tidak pernah terjadi.
Kesimpulan
Sartre dengan pandangan pesimistiknya mengajarkan bahwa kebebasan itu bukanlah kebebasan sesungguhnya. Meski kebebasan itu tidak bisa dicapai sepenuhnya, tetapi hal yang diinginkan manusia itu tidak hanya kebebasan itu saja. Manusia yang merasakan kebebasan akan merasakan juga kecemasan dan ketakutan, dan dari sanalah manusia akan terus menerus menyangkal dan meniadakan hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya untuk mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Sesungguhnya, jika dilihat dari sudut pandang etre-en-soi, manusia itu lebih bebas, meski etre-pour-soi menganggap etre-en-soi hanyalah kesadaran hewani, vegetatif, atau bahkan tanpa kesadaran. Tetapi di dalam etre-en-soi, terletak kebebasan dimana manusia tidak lagi melakukan penyangkalan atau peniadaan, manusia terlihat puas dengan apa adamya. Tidak mencari jawaban yang lebih dan berusaha untuk membenarkannya.
Sama halnya dalam pernikahan. Adanya tuntutan suami terhadap istri, kebebasan yang selalu diaktualisasikan, dimana anak digambarkan berperan sebagai generasi yang diandalkan untuk meneruskan warisan. Maka dari situ kita akan terus berharap, melakukan peniadaan bahwa sang anak memiliki kehendaknya sendiri, dimana sang istri memiliki kehendaknya sendiri, dan dari situlah kita akan merasa tidak puas. Sesekali manusia harus berada di dalam kenyataan etre-en-soi, meski terlihat tidak bebas, tetapi kita bebas dari kutukan kebebasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H