Kebebasan yang dimiliki etre-pour-soi dikarenakan manusia dapat mencari kemungkinan-kemungkinan, melakukan penyangkalan atau peniadaan terhadap segala sesuatu yang berbeda satu dengan yang lain dengan kesadarannya. Manusia tidak akan pernah memiliki identitas yang pasti, karena kemungkinan-kemungkinan yang berubah setiap saat. 'L'existence prcde l'essence', yang artinya eksistensi mendahului esensi, manusia harus eksis terlebih dahulu baru manusia bisa menemukan esensi yang berupa kebebasan tersebut. Manusia bebas mengadakan penyangkalan terus menerus terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sesuatu di luar dirinya setiap saat, karena manusia memiliki kemampuan untuk sadar akan setiap perbedaan atau ketidaksamaan. Contoh kasus, si A menyadari temannya yang sekarang adalah orang yang baik, tidak sama saat 5 tahun yang lalu, temannya adalah seorang penjahat. Nah kemampuan untuk sadar akan perbedaan yang dirasakan si A akan temannya itu dan saat si A melakukan penyangkalan tersebut merupakan letak kebebasan manusia. Si A memiliki kemauan bebas untuk melakukan penyangkalan tersebut dan melakukan peniadaan terhadap temannya 5 tahun yang lalu.
Meski begitu, kebebasan itu tidak benar-benar bebas. Sartre mengatakan "aku dikutuk bebas, ini berarti bahwa tidak ada batasan atas kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas" (T.Z Lavine, Op.Cit, h. 350). Manusia yang bebas akan melakukan penyangkalan dan peniadaan terus menerus untuk mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Akan muncul rasa cemas akibat ketidakpuasan dalam mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Sebenarnya, dalam diri manusia ada keinginan untuk merasa puas, merasakan apa yang dirasakan etre-en-soi. Manusia ingin berhenti dan beristirahat dari perbuatan penyangkalan dan peniadaan tersebut. Tetapi, hal ini memungkinkan jika manusia meletakkan kesadarannya. Itulah mengapa Sartre menganggap setiap manusia adalah kegagalan, karena dalam diri manusia itu sebenarnya kosong, tidak dapat memenuhi rasa puasnya. 'L'homme est condamne a etre libre', yang artinya dengan kebebasannya, manusia sadar bahwa ia terhukum.
Etre-pour-arturi
Etre-pour-arturi merupakan hubungan intersubjektivitas yang gagal, hubungan antara subjek-subjek tidak dapat berjalan. Manusia bisa menjadi subjek, juga bisa dikatakan sebagai objek. 'No man is an island', yang artinya tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri. Contohnya hubungan anak ibu, suami istri, sahabat. Nah dalam hubungan tersebut, dapat dilihat apakah manusia berperan sebagai objek atau subjek. Disebut 'subjek' bila ia melakukan peranan aktif dalam mengarahkan perhatiannya terhadap sesuatu. Disebut 'objek' bila ia menjadi sasaran pasif dari subjek, sasaran dimana subjek mengarahkan perhatiannya kepada si objek. Objek merupakan sesuatu yang tidak bergantung pada subjek. Objek eksis tanpa adanya pengaruh dari pemikiran atau perasaan seseorang. Objek ada apa adanya, tanpa kesadaran. Sartre mengatakan bahwa hubungan intersubjektivitas ini merupakan sesuatu yang gagal. Hal ini dikarenakan dalam kesadaran manusia, hubungan subjek-subjek tidak bisa terjadi, melainkan hanya hubungan subjek-objek. Hubungan antara etre-pour-soi menyangkut peran manusia, apakah ia berperan sebagai subjek atau objek.
Sartre sangat berfokus pada ke 'diri' an atau individu manusia. Baginya 'yang lain itu' merupakan sesuatu yang asing, walaupun hubungannya dekat dengan seorang 'aku'. Seorang 'aku' baru sadar mengenai diri sendiri apabila dia mengetahui pandangan orang lain (le regard d'atrui) mengenai dirinya. Dari situ, dapat disebut 'aku' sebagai subjek yang telah mengobjektifkan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Sehingga orang lain pun akan menjadi en-soi bagi 'aku', dan sebaliknya seorang 'aku' akan menjadi objek dari 'aku' yang lainnya. Hubungan intersubjektivitas senantiasa menjadi konflik karena antara aku yang satu dan aku yang lain saling mengobjektivasi dengan menggunakan kesadaran masing-masing.
Pernikahan Dalam Pandangan Eksistensialisme Sartre
Pernikahan tidak hanya sekadar proses penyatuan laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri. Dibalik pernikahan, setiap orang memaknainya dengan kesadaran yang berbeda-beda. Setiap orang yang terlibat dalam pernikahan, memiliki kebebasan sebagai etre-pour-soi untuk memaknai hubungan mereka. Tetapi, apakah di dalam pernikahan tersebut ada kebebasan? Jika ada, siapakah pihak yang mengalami kebebasan tersebut? Sebenarnya kebebasan yang benar-benar bebas itu tidak ada. Kita manusia bebas untuk menggunakan kesadaran kita dalam menentukan peran kita dalam sebuah eksistensi. Namun, jika mengingat kutipan dari Sartre, 'aku dikutuk oleh kebebasan', dalam pernikahan ini, baik suami, istri, dan anak akan dikekang untuk selalu mengaktualisasikan kebebasan tersebut.
Hubungan intersubjektivitas yang dikemukakan Sartre dianggap sangat pesimistik. Hubungan antara subjek-subjek tidak akan pernah berhasil. Jadi, hubungan dalam pernikahan, hubungan suami-istri, ibu-anak, dan ayah-anak, sebenarnya tidak pernah menjadi hubungan subjek-subjek, melainkan hanya sebatas subjek-objek. Suami akan meng-objek-kan istrinya untuk kepentingan si suami. Kepentingan untuk reproduksi, kepentingan untuk mengurus rumah tangga, kepentingan untuk melayani si suami, dll. Di satu sisi suami memiliki kebebasan untuk meng-objek-kan istrinya, tetapi di sisi lain dia akan terus-menerus menyangkal dan meniadaan kemungkinan-kemungkinan lain. Kemungkinan dimana seorang istri bisa sebagai kepala rumah tangga, dimana sang istri bisa menjadi tulang punggung keluarga, dan masih banyak kemungkinan lainnya yang disangkal. Begitu sebaliknya, jika istri yang meng-objek-kan suaminya, maka si suami akan menjadi objek dalam pandangan istri.
Penyangkalan dan peniadaan akan membawa kita untuk terus menerus melakukannya pada hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita, atau tidak masuk akal menurut kita. Kita akan selalu terkekang dengan selalu melakukan penyangkalan dan peniadaan tersebut, terkekang dengan kebebasan itu sendiri. Justru sebaliknya, jika kita menjadi etre-en-soi, kita tidak akan bisa mengaktualisasikan kebebasan tersebut, kita bukanlah objek maupun subjek, kita tidak eksis. Maka dari itu, hakikat manusia untuk mencapai kebebasan sebenarnya tidak ada. Dalam pernikahan pun tergambar seperti hubungan intersubjektivitas tersebut, dimana kita mengekang pasangan atau anak kita untuk kepentingan diri sendiri, tetapi kita terkekang dengan kesadaran kita untuk mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Jika dilihat lagi dalam pandangan Sartre, sebenarnya hakikat manusia adalah bebas itu tidak pernah terjadi.
Kesimpulan
Sartre dengan pandangan pesimistiknya mengajarkan bahwa kebebasan itu bukanlah kebebasan sesungguhnya. Meski kebebasan itu tidak bisa dicapai sepenuhnya, tetapi hal yang diinginkan manusia itu tidak hanya kebebasan itu saja. Manusia yang merasakan kebebasan akan merasakan juga kecemasan dan ketakutan, dan dari sanalah manusia akan terus menerus menyangkal dan meniadakan hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya untuk mengaktualisasikan kebebasan tersebut. Sesungguhnya, jika dilihat dari sudut pandang etre-en-soi, manusia itu lebih bebas, meski etre-pour-soi menganggap etre-en-soi hanyalah kesadaran hewani, vegetatif, atau bahkan tanpa kesadaran. Tetapi di dalam etre-en-soi, terletak kebebasan dimana manusia tidak lagi melakukan penyangkalan atau peniadaan, manusia terlihat puas dengan apa adamya. Tidak mencari jawaban yang lebih dan berusaha untuk membenarkannya.