Kebebasan Dalam Eksistensialisme SartreÂ
Jean Paul Sartre merupakan filsuf eksistensialisme yang terkenal pada abad XX . Ia berasal dari Perancis dan pemikirannya tentang 'aku dikutuk oleh kebebasan' sangat ikonik dalam filsafat eksistensialisme ini. Aliran filsafat Jean Paul Sartre berfokus pada individu manusia. Eksistensialisme tersusun dari kata-kata eks (keluar), sistere (ada), me (aliran). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi artinya "paham (nya) berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar" (dalam Sazza, 2014).
Menurut eksistensialisme, manusia itu mahkluk yang "keluar", manusia bisa dipisahkan dari mahkluk non manusia lainnya jika dilihat dari keberadaanya. Di dunia ini hanya manusia yang memiliki eksistensi, mahkluk lain yang non-manusia tidak memilikinya. Dikarenakan cara berada mahkluk non-manusia itu tidak dianggap bereksistensi, tidak seperti cara berada manusia. Manusia menunjukkan eksistensinya dengan berpribadi secara khusus dan beragam, kekhasan manusia
Manusia yang dipandang bereksistensi di dunia ini tidak hanya terfokus pada cara beradanya sendiri, cara bereksistensinya sendiri. Melainkan, manusia harus melihat relasi dengan lingkungannya, mahkluk non manusia lainnya, meskipun cara berada mahkluk non manusia itu tidak dapat dikatakan bereksistensi. Hal tersebut dikarenakan oleh hakekat manusia sebagai mahkluk sosial, mahkluk yang hidup beriringan dengan lingkungannya. Dalam dunia inilah manusia dapat dikatakan memiliki cara berada yang unik, berbeda antara manusia satu dengan yang lainnya.
Dalam pandangan eksistensialisme Sartre, ia menganggap bahwa hubungan manusia merupakan konflik dan manusia bisa secara bebas menghadapi konflik tersebut. Eksistensialisme menurut Sartre merupakan pengalaman personal manusia sebagai subjek. Dalam bukunya L'Etre et l'Neant, Sartre melihat eksistensi manusia itu dalam kenyataan sebagai etre-en--soi dan etre pour-soi. Kedua kenyataan itu merupakan dua kenyataan tentang 'kesadaran' dan 'yang disadari', yang saling berhadapan dan bertentangan
Etre-en-soi
Etre-en-soi atau ada pada dirinya. Pada kenyataan ini, manusia tidak menyadari perannya sebagai subjek maupun objek. Ia bukan subjek karena ia tidak memiliki kesadaran yang dapat digunakkan. Ia juga bukan objek karena ia tidak sadar akan kedudukannya sebagai objek. Keadaan etre-en-soi ini netral, tidak meng-ia-kan dan tidak menyangkal juga. Ia tidak sadar akan lingkungannya. Tidak mengerti dan tidak mempertanyakan apapun. Ia hanya penuh dalam dirinya sendiri tanpa adanya interaksi dengan hal lain apapun.
Etre-en soi dapat dikatakan sebagai dunia benda-benda, dunia objek. Manusia yang dilepaskan dari kesadarannya, maka ia akan dipandang sebagai objek, etre-en-soi. Nah manusia yang termasuk ke bagian etre-en-soi, manusia yang tidak ada kesadaran, maka manusia tersebut akan masuk sebagai objek kesadaran manusia. Dalam tahap ini, manusia sudah "merasa" penuh atau "puas" hidupnya, manusia tidak akan mencari makna dan bertanya akan segala hal.
Etre-pour-soi
Etre-pour-soi atau ada untuk dirinya. Manusia di kenyataan ini sadar akan segala sesuatu, sadar adanya dirinya itu sebagai subjek, dan menyadari adanya objek sebagai etre-en-soi. Manusia akan mempertanyakan apa saja dan berusaha mencari jawabannya, manusia memiliki kesadaran sebagai subjek, tidak hanya kesadaran instingtif. Dengan pikirannya yang sadar, ia akan mencari makna segala sesuatu. Dalam etre-pour-soi, manusia memiliki pikiran yang sadar akan dirinya sebagai subjek dan memiliki objek dalam pengamatan dan pemikirannya. Dengan adanya  etre-pour-soi, manusia akan mempertanyakan dunia benda-benda, dunia objek, etre-en-soi, yang mana nantinya akan membuka sebuah kemungkinan bahwa etre-en-soi hanyalah berupa penyangkalan atau peniadaan. Saat etre-pour-soi sebagai subjek memandang etre-en-soi sebagai objek, maka etre-pour-soi akan mengadakan peniadaan terhadap etre-en-soi.
Kebebasan Yang Menghukum