Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi tempat di mana mereka mencari hiburan, informasi, hingga teman baru. Remaja saat ini cenderung menghabiskan sebagian besar waktunya di dunia maya, baik untuk berkomunikasi maupun berbagi momen-momen pribadi. Hal ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya, ketika remaja lebih banyak menghabiskan waktu untuk berinteraksi langsung dengan teman sebaya atau keluarga. Dampak dari penggunaan media sosial yang masif ini pun mulai terlihat, mempengaruhi cara mereka berperilaku, berpikir, dan melihat diri sendiri.
Dari sinilah muncul berbagai fenomena baru di kalangan remaja, seperti budaya mengikuti tren, kebutuhan akan pengakuan dari “likes” dan komentar, hingga fenomena perbandingan sosial yang makin sering terjadi. Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, perilaku remaja masa kini mengalami perubahan signifikan akibat paparan media sosial. Dulu, interaksi antar teman dilakukan secara langsung melalui kegiatan sekolah, permainan di luar rumah, atau pertemuan keluarga. Aktivitas semacam ini membantu remaja mengembangkan keterampilan sosial dasar seperti berkomunikasi, berempati, dan memahami bahasa tubuh lawan bicara. Sebaliknya, media sosial saat ini membuat kontraksi lebih sering terjadi dalam bentuk teks, gambar, atau video pendek yang kurang menekankan aspek komunikasi interpersonal. Akibatnya, banyak remaja yang lebih nyaman mengekspresikan diri secara daring dan cenderung merasa canggung atau kurang percaya diri ketika harus berhadapan langsung dengan orang lain.
Bayangkan seorang remaja bernama Dara yang menghabiskan sebagian besar waktunya di media sosial, terutama Instagram dan TikTok. Setiap hari, ia melihat foto dan video teman-temannya yang tampak selalu bahagia, berpenampilan sempurna, dan menikmati gaya hidup yang serba menarik. Melihat hal ini, Dara merasa hidupnya tidak seindah hidup teman-temannya, meskipun ia sebenarnya memiliki lingkungan keluarga yang baik dan teman-teman yang mendukung. Rasa tidak puas itu terus tumbuh, mendorong Dara untuk mengedit fotonya agar lebih mirip dengan “standar kecantikan” di media sosial. Fenomena ini menggambarkan tekanan yang dialami remaja dalam memenuhi ekspektasi tidak realistis yang diciptakan oleh media sosial. Misalnya, sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga kesehatan mental menemukan bahwa 70% remaja mengalami penurunan harga diri setelah membandingkan diri mereka dengan konten di media sosial.
Banyak remaja yang merasa tidak percaya diri atau stres saat melihat teman-temannya mendapatkan "likes" atau pengakuan lebih banyak. Contoh nyata dari situasi ini adalah ketika seorang remaja merasa cemas jika postingannya tidak mendapatkan banyak respons. Tekanan ini bahkan dapat membuat beberapa remaja menarik diri dari pergaulan atau merasa minder hanya karena tidak memenuhi "standar" populer di dunia maya. Respons terhadap tekanan sosial yang muncul dari media sosial, semakin banyak remaja yang merasa terjebak dalam siklus tak berkesudahan untuk mendapatkan validasi eksternal. Validasi ini sering datang dalam bentuk "likes", komentar positif, atau jumlah followers yang terus meningkat. Ketika mereka tidak menerima tanggapan yang diharapkan, banyak remaja merasa kecewa, bahkan cemas.
Kondisi ini dapat mengarah pada perasaan tidak berharga atau depresi, terutama bagi mereka yang sangat bergantung pada umpan balik dari media sosial untuk menilai nilai diri mereka. Inilah mengapa fenomena kecanduan media sosial semakin marak di kalangan remaja, yang pada gilirannya berdampak pada kesehatan mental dan emosional mereka. Lebih lanjut, penggunaan media sosial yang berlebihan juga memiliki dampak pada kemampuan remaja dalam membangun hubungan yang sehat di dunia nyata. Ketika waktu yang dihabiskan di media sosial terus bertambah, interaksi tatap muka semakin berkurang. Keterampilan komunikasi, seperti kemampuan mendengarkan secara aktif, membaca bahasa tubuh, dan merespons secara spontan, semakin tergeser oleh interaksi digital yang serba cepat dan tidak menuntut kehadiran emosional.
Akibatnya, remaja mungkin merasa sulit untuk menjalin hubungan yang autentik dengan orang lain, karena mereka lebih terbiasa dengan interaksi yang superfisial di dunia maya. Dampak negatif dari media sosial ini tidak hanya terbatas pada kesehatan mental. Studi menunjukkan bahwa paparan konten yang terus-menerus, terutama yang berfokus pada tubuh ideal atau gaya hidup mewah, dapat memengaruhi persepsi diri remaja. Mereka cenderung membandingkan diri mereka dengan standar kecantikan yang tidak realistis yang dipromosikan oleh influencer atau selebritas di platform tersebut. Hal ini dapat memicu berbagai masalah, seperti gangguan makan, citra tubuh yang buruk, dan obsesi terhadap penampilan fisik.
Tekanan untuk selalu tampil sempurna dan memenuhi standar yang dibuat oleh media sosial bisa sangat melelahkan, sehingga menciptakan perasaan tidak pernah cukup baik. Tidak hanya itu, remaja juga semakin rentan terhadap fenomena fear of missing out (FoMO), yakni ketakutan ketinggalan sesuatu yang menarik atau menyenangkan yang terjadi pada orang lain. Ketika mereka melihat teman-teman atau orang yang mereka ikuti di media sosial sedang bersenang-senang, berlibur, atau menghadiri acara tertentu, remaja yang tidak terlibat dalam kegiatan tersebut dapat merasa cemas dan tidak puas dengan kehidupan mereka sendiri.
Perasaan ini dapat meningkatkan stres dan kecemasan, karena mereka merasa selalu harus terhubung untuk memastikan bahwa mereka tidak ketinggalan tren atau peristiwa penting. Di sisi lain, media sosial sebenarnya tidak sepenuhnya membawa dampak negatif. Bagi sebagian remaja, platform ini menyediakan ruang untuk berekspresi, menemukan komunitas yang memiliki minat serupa, dan mengembangkan kreativitas. Banyak remaja yang menggunakan media sosial sebagai sarana untuk berbagi karya seni, musik, atau proyek pribadi, yang mungkin tidak memiliki panggung di dunia nyata. Media sosial juga memberikan akses lebih mudah ke informasi, memungkinkan mereka untuk belajar hal-hal baru dan memperluas wawasan mereka.
Dengan kata lain, media sosial bisa menjadi alat yang positif jika digunakan dengan bijaksana. Namun, tantangannya adalah bagaimana memastikan remaja tidak terjebak dalam sisi gelap media sosial. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan edukasi tentang literasi digital sejak dini. Remaja perlu diajari untuk lebih kritis dalam menilai konten yang mereka konsumsi, serta memahami bahwa banyak hal yang ditampilkan di media sosial telah disaring dan dimanipulasi untuk menampilkan versi terbaik dari kehidupan seseorang. Edukasi ini bisa membantu mereka memahami bahwa “likes” atau “followers” bukanlah ukuran sejati dari kebahagiaan atau kesuksesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H