Mohon tunggu...
Kenisya Salsabila Larasati
Kenisya Salsabila Larasati Mohon Tunggu... Desainer - Creative

Seorang Creative Designer yang suka menulis dan mengekspresikan diri lewat cerita maupun ulasan. Selamat membaca!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menikmati Sore

2 Januari 2025   19:07 Diperbarui: 2 Januari 2025   19:32 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A cup of tea (Sumber: Unsplash)

Air kecoklatan yang ia hirup dari cangkir keramik hijau-telur-asin yang mengkilap itu manis campur masam dalam kecapnya, tapi level masamnya masih masuk dalam toleransi Mori karena perpaduan unik dalam teh apel hangat itu sungguh menjadi penentram hati. Hangat teh apel perlahan meluncur melewati tenggorokan dengan nyaman seiring ia yang menyesapnya secara perlahan pula. Mori ingin sore menjelang senja ini berjalan dengan lambat, santai, tak diburu waktu walaupun detik terus berjalan tanpa henti dan kian mengikis hari.

Wanita muda itu bersandar di kursi rotan berbantal dengan posisi yang sungguh nyaman--hampir berselonjor dengan kaki dibiarkan lurus ke depan tanpa kekakuan. Ia sendirian di balkon apartemen murahnya, bersama sebuah meja kayu kecil yang menjadi tumpuan segelas teh hangat dan buku novel bergenre fiksi politik yang sudah setengah habis ia baca, serta 5 pot tanaman bontot berdaun rimbun yang dengan tekun ia rawat dan kasihi bagai anak susuan sendiri. Jakarta sore itu nampak rusuh akibat kemacetan, namun yang Mori dengar di telinganya hanyalah alunan gemericik air sungai tenang di kedalaman hutan lembab yang teduh dan hangat karena ia lebih memilih menyumbat telinga dengan earphone menikmati ambience melodi alam daripada harus mendengar sahut-sahutan klakson mobil dan motor dari jalanan Jakarta yang ruwet.

Tinggal di lantai 25, Mori mendapati pemandangan kebalauan Jakarta secara jernih dan sungguh luas. Visual di hadapannya lumayan kusam dan penuh gedung-gedung perkantoran beragam tinggi, menjadi gado-gado dengan adanya perumahan elit dan kumuh yang terselip di sela-sela mereka.  Namun, ia tidak melihat Jakarta sebagai kota yang chaotic, melainkan sebagai kota penuh kisah warna-warni.

Sabtu itu, Mori libur kerja. Pagi hingga siang ia lalui berlelah-lelah mencuci habis tumpukan pakaian kotor yang sudah menggunung akibat ia tumpuk selama 5 hari--dan selalu begitu tiap pekannya--, memasak sarapan dan makan siang sendiri dengan menu yang selalu sehat nan istimewa namun dengan bahan-bahan yang ruwet dan proses yang selalu memakan waktu lama, serta menyiram dan memberi tambahan nutrisi bagi kelima anak-anak hijaunya yang rimbun. Ia mengakhiri Sabtu yang padat itu dengan kehangatan matahari sore di balkon apartemennya.

Tak harus selalu dengan hiburan dan berpelesir untuk menjadi bahagia, cukup menikmati keheningan sore bersama segelas teh hangat sehabis membilas segala emosi dan problematika jauh ke dalam drainase pun sudah sangat cukup. Dengan prinsip tersebut yang selalu Mori tanam dalam jiwa, maka dipatenkanlah hari Sabtu sebagai hari ketenangan yang sakral bagi nya setelah melewati 5 hari kerja di bilik kantor kotak nan sumpek yang menguras seluruh jiwa raga.

Dalam perkawinan antara keruwetan visual Jakarta dan kedamaian ambience gemericik sungai hutan yang sungguh bertabrakan, Mori memejamkan mata dan meresapi apa yang ia rasakan saat itu: angin dingin bercampur hangat menghembus sepoi rambut pendeknya yang masih setengah kering kala senja jingga kekuningan mewarnai bentang langit bersama matahari tenggelam yang masih sungguh terang dan hangat hingga menembus dinding kelopak matanya. Setelah beberapa menit menikmati hening dengan kekosongan pikiran yang menenangkan, ia kembali membuka mata, menyesap kembali teh apel yang masih terasa hangat itu dan kembali tenggelam dalam alkisah lembar-lembar novelnya yang membawanya berkeliling dunia imajinasi.

Sabtu ini sungguh nikmat. Sabtu berikutnya dan kedepannya akan menjadi pengulangan yang manis dan akan Mori nikmati setiap rinci nya. Angin terus meniup lembut rambutnya seiring langit senja menggelap dan menyambut nona bulan dengan penuh sahaja.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun