Mohon tunggu...
Kenia Nareriska
Kenia Nareriska Mohon Tunggu... -

IDN - YK ● Mahasiswi ● www.kotaksurat.org

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Masyarakat Perlu Diet Informasi

17 April 2015   13:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:59 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pada 22 Maret 2015 pukul 03.18, Lee Kuan Yew, perdana menteri pertama Singapura meninggal dunia. Kabar duka tersebut tersebar ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan detik. Tidak lebih dari 24 jam, portal berita di Indonesia pun juga memberitakan meninggalnya founding fathers Negara Singa itu. Dalam sekejap #RIPLKY menjadi trending topic dunia.

Tinggal di negara berbeda, dengan jarak ratusan mil, namun dapat menyimak peristiwa yang sama dalam waktu yang hampir bersamaan pula. Itulah masa yang sedang kita alami saat ini. Alvin Toffler menyebutnya sebagai tahapan The Third Wave. Era di mana informasi dari belahan dunia manapun dapat diperoleh dengan mudah kapanpun dan oleh siapapun (Purnomo, 2011). Kultur berita “serba cepat” ini muncul tidak lepas dari peran media online.

Geliat Situs Online Indonesia

Situs online di Indonesia tumbuh subur setelah tahun 1998, ketika Orde Baru runtuh dan produk politiknya, Departemen Penerangan telah bubar. Perkembangan situs-situs ini tidak lepas dari boomingnya media online di dunia tahun 1990an. Tercatat pada tahun 1994 di Indonesia, muncul beberapa situs online seperti astaga.com, satunet.com, lippostar.com, kopitime.com, berpolitik.com, dan republika.com. Dari banyak situs itu, ada satu situs yang memelopori pergerakkan jurnalisme online yang “serba cepat”, yaitu Detik.com.Ketika situs online lain hanya memindahkan isi berita dari media cetaknya ke media online, Detik.com tidak demikian. Detik.com yang tidak memiliki versi cetak membuatnya selalu mengupdate berita yang “ringkas dan to the point” secara online ( Shedden, 2014 & Margianto dan Saefullah dalam AJI).

Semenjak Detik.com hadir, situs online yang menawarkan berita “ringkas dan to the point” menjamur. Meski sempat mengalami penurunan jumlah yang drastis karena minimnya pembiayaan, saat ini situs berita online mulai tumbuh subur lagi dan tidak terhitung banyaknya. Jika diasumsikan setiap media cetak nasional memiliki situs online, maka situs online di Indonesia jumlahnya lebih dari 1.076 situs (data jumlah media cetak Indonesia tahun 2010) (Wikan, 2011). Belum dotcom-dotcom lain yang terbentuk karena pasar situs online yang dianggap menjanjikan. Masih ditambah situs-situs online yang digarap oleh warga (citizen journalism).

UngkapanThomas L Friedman dalam bukunya The World Is Flat bahwa internet membuat informasi mengalir bak air bah, memang benar adanya. Pengamatan dilakukan terhadap situs berita online milik 15 media cetak dengan oplah terbesar di Indonesia. Satu portal berita online memiliki 12-14 kanal berita. Di mana setiap kanal-kanal tersebut memiliki kanal berita lagi sejumlah 5-10 kanal. Jika pada satu hari paling tidak ada satu berita yang disebarkan di setiap kanal, maka perharinya masyarakat sudah disediakan kurang lebih 140 pilihan berita dari satu portal berita online. Padahal portal berita online tidak mungkin hanya mengupload satu berita per kanal. Karakteristik online yang tidak dibatasai halaman layaknya media cetak, memungkinkan setiap kanal mengupload berapapun berita. Dengan kata lain, portal berita online dapat menyuguhkan lebih dari 140 berita yang beragam kepada audiensnya. Itu baru satu portal berita online, padahal seperti yang sudah di sebutkan di atas, minimal ada 1.076 portal berita. Dapat dibayangkan betapa banyak informasi yang menerpa masyarakat setiap harinya.

Di era jurnalisme online, berita ibarat jajanan di pasar. Audiens tinggal pungut dan mengkonsumsinya. Tapi mana yang harus dipungut dan dikonsumsi? Tidak semua jajanan di pasar baik, pun berita online.

Dari Imanda Amalia hingga Lee Kuan Yew

Beberapa kasus sempat terjadi, berita online kerap kali melewatkan proses verifikasi karena mengutaman kecepatan. Padahal, mengutip dari buku Sembilan Elemen Jurnalisme karya Kovach dan Rossentiel, verifikasi adalah roh jurnalisme. Pembeda utama antara produk berita jurnalisme dengan produk tulisan lain (Kovach & Rosenstiel, 2001).

Kisah Imanda Amalia merupakan teguran keras bagi dunia jurnalisme online. Pada 3 Februari 2011 Imanda Amalia seorang warga negara Indonesia keturunan Australia dikabarkan tewas di tengah gejolak politik di Mesir. Imanda Amalia adalah seorang aktivis Badan Pekerjaan dan Bantuan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat, UNRWA (the United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). Hal ini sontak membuat heboh dunia maya. Berbagai portal berita menuliskan berita mengenai Imanda Amalia. Namun setelah ditelusuri, kematian Imanda Amalia merupakan berita hoax. Informasi tersebut pertamakali dibagikan melalui laman grup Facebook Science of Universe. Tanpa melakukan check and recheck, berbagi situs online mengabarkan informasi hoax sebagai sebuah berita ( Margianto & Saefullah, dalam AJI).

Kejadian serupa dialami oleh situs online CNN dan CCTV. Kedua media besar tersebut terjebak dalam pernyataan palsu remaja 16 tahun. Sejak 5 Februari 2015, keadaan Lee Kuan Yew, mantan PM Singapura ada dalam masa kritis. Di tengah masa kritis ini, seorang pelajar 16 tahun Singapura menyebarkan pernyataan palsu, bahwa Lee Kuan Yaw telah meninggal dunia. Tanpa melakukan verifikasi, CNN dan CCTV ikut memberitakan pernyataan palsu ini (Adiputri, 2015)

Demi menjadi yang tercepat, kerapkali portal berita online mengabaikan verifikasi. Sehingga berita yang disebar tidak kredibel. Padahal menurut survei BPJS, sebanyak 78,49% masyarakat indonesia menggunakan internet untuk mencari berita. Jika jumlah pengguna internet sebanyak 71,19 juta orang, maka ada kurang lebih 55 juta orang menggunakan internet untuk mencari berita (APJII, 2014). Dengan kata lain, ada begitu banyak orang yang tertipu, jika berita online tidak disiplin dalam verifikasi.

Prosumsi

Banjir informasi juga berkaitan erat dengan citizen journalism. Citizen journalism berarti warga yang aktif mengumpulkan informasi, memverifikasi, menulis dan ke2mudian menyebarluaskannya; baik melalui blog personal, portal jurnalisme warga, media komunitas, mau pun media arus utama yang menyediakan kanal khusus bagi jurnalis warga (Ningtyas, 2014). Internet memungkinkan warga tidak hanya sebagai pihak yang mengkonsumsi berita, namun juga sebagai pihak yang memproduksi. Karakteristik inilah yang kemudian memunculkan isilah Prosumsi, Produksi – Konsumsi, oleh Alfin Toffler (Margianto&Saefullah dalam AJI).

Warga sebagai produsen berita,memberi ragam baru dalam dunia jurnalisme. Produk jurnalisme tidak melulu ditulis oleh wartawan, namun oleh siapa saja yang mau. Akibat yang timbul dari prosumsi, masyarakat memiliki semakin banyak pilihan berita. Tidak menjadi masalah, apabila berita yang disajikan memenuhi kaedah jurnalisme. Namun yang menjadi sorotan disini adalah berita ditulis oleh bukan jurnalis. Berita yang ditulis jurnalis saja bisa tidak kredibel (lihat bagian Dari Imanda Amalia sampai Lee Kuan Yee ), apalagi yang ditulis oleh warga biasa.

Diet Informasi

Era internet mengeliminasi peran redaksi sebagai gatekeeper dalam pemberitaan. Informasi apapun dapat dishare. Akibatnya banyak informasi yang digarap tidak serius pun bisa muncul. Lalu apa yang bisa dilakukan audiens di tengah luapan informasi seperti ini?

Dalam buku Blur: How to Know What's True in the Age of Information Overload karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, menyebutkan diet informasi merupakan sikap masyarakat menghadapi era banjir informasi (Harsono, 2012). Maksudnya, masyarakat harus memilih berita-berita yang menerpa mereka. Hendaknya masyarakatmengkonsumsi berita yang bergizi.

Adapun berita yang bergizi yang baiknya dikonsumsidapat ditemukan jika audiens selalu merasa skeptis terhadap pemberitaan yang ada. Audiens dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini : 1) Konten berita jenis apa yang saya temui?; 2) Apakah informasinya komplit; jika tidak apa yang kurang?; 3) Siapa dan apa sumbernya, dan kenapa saya mesti mempercayai mereka?; 4) Bukti apa yang disuguhkan, dan bagaimana menguji dan membuktikannya?; 5) Apa yang bisa menjadi penjelasan atau pemahaman alternatifl?; 6) Apakah saya telah mempelajari apa yang perlu saya pelajari? (Kovach&Rosenstiel dalam Heychael, 2012). Baru setelah itu, sebuah informasi atau berita dikonsumsi.

Perkembangan Internet memberikan kesempatan bagi jurnalisme online untuk berkembang. Disisi lain, di sini Citizen journalism pun menemukan tempatnya. Keikutsertaan warga dalam praktek menulis berita, menambah angka dan keberagaman berita yang beredar di ranah online. Memungkinkan siapapun, dari manapun meneyebarkan informasi apapun. Mengakibatkan arus informasi mengalir deras dalam kehudapan masayarakat. Era banjir informasi menuntut audiens untuk bisa bertanggung jawab sendiri atas informasi apa yang didapatnya. Tidak melulu mengandalkan pihak redaksi sebagaigatekeeper . Akan tetapi diri sendiri lah yang menjadi penyaring informasi bagi dirinya sendiri, caranya dengan selalu skeptis dengan pemberitaan yang ada, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menguji kredibilitas berita. Semua ini dilakukan demi mendapatkan informasi yangbermutu, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk mengambil keputusan dalam hidupnya.

***

Daftar Pustaka

Wikan, A. (Mei, 2011). Masa Depan Media Cetak Indonesia. Jurnal Dewan Pers, 5, 1-14.

Kovach, B. & Rosentiels, T. (2001). Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau

APJII. (2014, 15 Januari). Pengunaan E-Mail Geser Layanan Media Sosial. Retrieved fromhttp://www.apjii.or.id/v2/read/article/apjii-at-media/227/pengunaan-email-geser-layanan-media-sosial.html

Adiputri, N., C. (2015, 21 Maret). ABG Singapura Diperiksa Polisi terkait Hoax kematian Lee Kuan Yew. Detik.com. Retrieved from http://news.detik.com/read/2015/03/21/103249/2865491/1148/abg-singapura-diperiksa-polisi-terkait-hoax-kematian-lee-kuan-yew

Shedden, D. (Desember, 16 2004). New Media Time Line (1990). Retrieved fromhttp://www.poynter.org/uncategorized/28754/new-media-timeline-1990/

Shedden, D. (Desember, 16 2004). New Media Timeline (1998). Retrieved from http://www.poynter.org/uncategorized/28781/new-media-timeline-1998/

Margianto & Sayefullah. Media Online: Pembaca, Laba, dan Etika Problematika Praktik Jurnalisme Online di Indonesia. Jakarta: AJI

Ningtyas, I. (2014). Menegakkan Demokratisasi Media  Melalui Jurnalisme Warga. Diambil dari http://remotivi.or.id/pendapat/menegakkan-demokratisasi-media-melalui-jurnalisme-warga

Harsono, A .(2012). Internet, verifikasi, jurnalisme dan verifikasi. Retrieved from http://www.andreasharsono.net/2012/12/internet-verifikasi-jurnalisme-dan.html

Heychael, M. (2012). Apakah Jurnalisme Masih Relevan? . Retrieved from http://remotivi.or.id/kupas/apakah-jurnalisme-masih-relevan

Purnomo, BS. (2011). Sejarah Perkembangan Citizen Journalism dan Pewadahan Citizen Journalist. Diambil dari http://eprints.undip.ac.id/38448/3/Bab_2.pdf

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun