Mohon tunggu...
Ken Hanggara
Ken Hanggara Mohon Tunggu... -

Pemuda yang menyukai sastra dan seni. Tulisannya banyak yang berupa cerpen dan puisi, juga beberapa novel. Untuk menghubungi bisa melalui email: kenzohang@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bersakit-Sakit dengan Proses, Bersenang-Senanglah Kemudian

27 Mei 2014   14:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu waktu pertama kali aku menulis, jujur saja, aku ingin kaya. Ya, betul-betul ingin kaya. Siapa sih yang menolak uang banyak dari kesenangan atau hobi? Sudah mengerjakannya senang, dapat uang lagi. Wah, berasa hidup ini begitu indah!

Tapi, satu hal yang waktu itu kulupakan, yaitu tentang motivasi. Apa itu motivasi? Bila hidup diibaratkan secangkir teh, maka motivasi adalah gula. Tanpa motivasi, hidup rasanya pahit. Tanpa motivasi, lama-lama kita jenuh dengan rutinitas. Padahal salah satu kunci menuju sukses adalah bersahabat dengan rutinitas itu sendiri. Setuju, tidak?

Nah, dalam tulisan kali ini kuambilkan contoh kehidupan salah seorang temanku, sebut saja Mister X (bukan nama sebenarnya). Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang angkat barang di sebuah studio tempat shooting FTV dan sinetron milik production house ternama. Yang membuatku heran adalah dia selalu tampak segar dan ceria. Padahal pekerjaannya itu bukan pekerjaan mudah. Maklum, dia bergabung di tim yang mengerjakan sinetron kejar tayang. Jadi, sehari-hari kerjaannya kalau tidak molor sepanjang pagi sampai sore, ya pasti melek terus sepanjang 24 jam non-stop!

Suatu hari, iseng-iseng aku tanya. Resep menjaga kesegaran tubuhnya itu apa? Dia jawab: "Ya sing rajin nek salat, ojo sampai telat, ben urip iso selamet", yang artinya kira-kira begini: "Yang rajin kalau salat, jangan sampai telat, biar hidup kita selamat". Ya memang betul sih. Tapi aku belum mendapat jawaban yang lebih detail, misalnya minum jamu apa gitu, atau mungkin menjalankan program olahraga yang dirancang sendiri, dan lain sebagainya.

Sebelumnya kuingatkan, ini bukan bermaksud mendiskreditkan seseorang, ya. Aku justru kagum dengan temanku, si Mister X ini. Dulu, sebelum merantau ke Jakarta, hidupnya susah. Dia lulusan SMP yang bekerja di sebuah pabrik makanan. Keputusannya berhenti adalah karena ingin menjadi artis. Sayangnya, logat Jawa yang terlalu kental (medhok, sampai-sampai membuat suaranya terdengar seperti melawak padahal bukan sedang melawak), minimnya kemampuan akting, ditambah dengan ketidakcakapan menyesuaikan diri dalam pergaulan anak-anak kota, membuatnya dengan terpaksa harus beralih profesi menjadi apa saja, yang penting uang yang didapat halal dan barakah.

Suatu hari, nasib baik menyapanya. Seorang bapak-bapak yang tinggal dekat studio menawarinya job. Ternyata, orang itu belakangan kami ketahui memiliki kenalan orang dalam yang memungkinkan temanku ini untuk masuk ke sana, untuk magang menjadi seorang kru televisi di sebuah production house terkenal!

Betapa aku dan yang lain, sebagai teman yang baik, tentulah mendukung dia habis-habisan (hanya saja kami tidak mencetak spanduk, poster, dan lain sebagainya, sebab waktu itu belum memasuki musim pemilihan legislatif). Kami menyemangati Mister X selama sehari itu, sehari sebelum dia berangkat mengemban tugas mulia yang dipikulkan di pundaknya.

Tapi, keesokan harinya, kami semua menunduk sedih mendengar ceritanya. Di ruang tamu rumah kontrakan, dia kami tanggap selayaknya menonton bintang tamu acara talk show "Satu Jam Bersama...", karena penasaran dengan lingkungan kerja orang studio. Ternyata, oh ternyata, gaji yang didapatnya tak sesuai dengan apa yang kami bayangkan. Memang, gajinya gaji harian, tapi jumlah itu kami rasa kurang adil bila dibanding dengan tenaga yang dikeluarkan kru pemula yang disuruh angkat ini-itu sepanjang proses shooting berlangsung.

Bayaran yang diterima teman kami itu, saudara-saudara, adalah sepuluh ribu rupiah dalam waktu sehari. Ya, sekali lagi: sepuluh ribu rupiah. Jelas? Jelas? Mirisnya, jumlah itu sudah termasuk uang transport! Untunglah dia tinggal tak jauh dari studio, jadi hanya perlu jalan kaki saja. Dan yang membuat kami agak lega, dia mendapat jatah makan gratis dari catering.

"Ora apa-apa. Sing penting oleh mangan, ping telu, wareg. Iwak daging, pitik, endhog, ya pokoke sing bergizi. Disyukuri baelah (Tak apa. Yang penting dapat makan, tiga kali, kenyang. Lauknya daging, ayam, telur, ya pokoknya yang bergizi. Disyukuri sajalah)," sahutnya enteng ketika kami memberinya saran mempertimbangkan lagi pekerjaan itu.

Tapi, sungguh kami tak habis pikir. Keuntungan yang didapat dari satu episode sinetron itu berapa sih? Pertanyaan itu langsung menampar kami. Pastilah tidak sedikit. Buktinya, seorang artis saja dibayarnya sangat mahal, belum lain-lain. Nah, ini ... mentang-mentang kru magang, hanya diberi sedikit. Tapi kemudian kami sadar, bahwa teman kami memang seorang kru lepas, yang sekadar "diajak" oleh "pegawai" dalam, atau dengan kata lain: teman kami bukanlah kru yang direkrut secara profesional di kantor dengan melalui proses seleksi yang pastinya ketat. Maka, dapat dipastikan, seseorang yang entah siapa, memanfaatkan hal ini demi memperdaya Mister X dengan memeras tenaganya sampai kering dan mengambil keuntungan materi sebanyak-banyaknya dari pemuda polos sepertinya. Oh, kejamnya dunia!

Begitulah, Kawan. Dalam dunia entertainment, begitu banyak yang tidak orang luar tahu mengenai seluk beluknya. Biarlah pembahasan tentang motivasi menulis ini jadi sedikit melenceng dari topik utama. Biarlah begitu, karena toh cerita ini akan membawa kita menuju satu titik pencerahan menyoal motivasi itu sendiri. Kalau boleh kalian percaya, sebetulnya yang kalian tahu selama ini dari media cetak, online, maupun televisi, mengenai sisi lain dunia hiburan tanah air, sungguhlah belum benar-benar semuanya.

Pekerjaan kru bukan pekerjaan mudah. Bila artis lebih banyak istirahat di luar waktu take, maka kru amat jarang bisa bersantai ria di luar waktu take. Ada saja yang mesti dikerjakan, seperti misalnya membeli properti yang tak ada/habis, padahal waktu sudah menunjuk pukul satu dini hari. Gila, 'kan? Sementara, jalan menuju mini market terdekat, yang buka 24 jam pastinya, melalui jalanan petang atau lebih parah: kuburan, yang dihuni beragam makhluk astral dengan tampilan kover yang membuat kita bisa terkencing ketakutan melihatnya!

Tenaga ekstra tentulah dibutuhkan bagi seorang kru yang sering begadang selama sehari semalam atau kadang lebih. Dan, semua perjuangan itu, belum termasuk konsentrasi yang mesti terjaga. Salah sedikit, bisa disemprot atasan atau malah kena damprat si artis—yang merasa punya waktu berharga dan merasa rugi, hanya karena ketidakbecusan seorang kru dalam menata sesuatu, misalnya.

Tapi, meski segala kepahitan itu nyata, lihatlah, senyum Mister X tak pernah pudar, walau hidupnya makin hari makin susah. Dia menabung sedikit demi sedikit untuk bisa mengirim uang bagi kedua orangtuanya di kampung. Salut. Jadilah makin hari ia makin "gila" bekerja. Saat kami terbuai mimpi di balik selimut, dia malah mengusir kantuk di lokasi shooting dengan mengangkat hal-hal sederhana menjadi guyonan bagi dirinya sendiri.

Demi mengusir penat (aku yakin ini cara yang selalu dia lakukan), Mister X selalu bernyanyi meski suaranya betul-betul sumbang minta ampun. Kalau ada yang mengingatkan lebih baik tidak bernyanyi daripada membuat kuping orang sakit, dia selalu tak acuh, malah mengeraskan suaranya dengan lagu-lagu ganjil yang jarang kami dengar.

"Lagu siape tuh? Kagak pernah denger gue," tanya seorang teman.

Dan, dia pun menjawab, "Ya lagu ciptaan gue gitu loh. Ha-ha-ha," dengan logat medhok khas Jawa Tengah dan tawa yang dibuat-buat.

Kami sering melihatnya duduk sendiri—bila tak ada aktivitas shooting di studio—dengan hanya bertemankan pulpen dan selembar kertas (sebenarnya beberapa lembar kertas, tapi karena biar agak terdramatisir jadi ditulis selembar kertas saja), lalu bersiul-siul tak jelas, menggumam-gumam tak jelas, hingga terciptalah sebuah lagu yang cuma dia sendiri yang tahu.

Tak jarang dia mengerjai teman yang sedang berada di rumah kontrakan sendiri. Lewat cerita-ceritanya yang setengah bualan setengah nyata, Mister X bilang dia pernah melihat nenek-nenek bermuka karet (meleleh, berdarah, dan seram), berjalan melintasi teras kontrakan kami. Maklum, dia memang senang tidur di lantai, walau kebiasaan itu sering membuat kami mengingatkannya tentang kesehatan. Nah, pada suatu malam, konon dia terjaga dari tidurnya usai didengarnya rintihan seseorang yang berjalan dengan payah dari gang masuk menuju kontrakan kami. Dibenahilah posisi duduknya, bersilalah dia, dan dengan mantap menunggu siapa yang hadir di sana. Ternyata, eh ternyata, yang ditunggu-tunggu itu bukan siapa-siapa, melainkan hantu penghuni pasar gaib yang ada di dekat rumah kami!

Sedikit tentang pasar gaib itu. Di samping kanan rumah kontrakan kami memang ada kebun seluas ratusan meter persegi. Di kebun itu, sudah banyak orang yang kena batunya gara-gara berani lewat malam-malam atau bahkan subuh-subuh. Berbagai jenis hantu (kebanyakan pocong dan makhluk hitam besar yang tinggi berbulu) ada di sana. Dan memang, tak pernah kulihat ada yang berani lewat sana di kala gelap, kecuali aku.

Aku memang tak begitu percaya cerita bualan teman-teman atau warga sekitar. Kukira mereka cuma sekadar menakuti. Maka, tak jarang antara pukul sebelas atau lewat dua belas malam, aku lewat gang sempit yang posisinya tepat di belakang rumah kami itu. Cuek saja kulalui jalan licin berlumpur dengan dinding tinggi di kiri jalan dan kebun berhantu di sebelah kanan. Walau hampir selalu kucium bau amis dan ganjil di tempat itu (biasanya di bawah salah satu pohon kapuk, pohon terbesar di kebun itu), aku tak gentar. Dan walau mereka selalu bilang, "Itu bau genderuwo, tau!", aku tetap tak gentar.

Hingga tibalah malam itu. Aku sendiri di rumah. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Aku bangkit, keluar kamar, mengintip jendela. Sepi. Kembali lagi ke dalam. Ada yang mengetuk lagi. Kuintip keluar, kali ini lewat jendela kamar. Juga sepi. Lha? Aku heran, siapa yang ketuk-ketuk pintu? Padahal di sepanjang teras itu tak ada siapa-siapa.

Pada akhirnya, ketukan ketiga membuatku jengkel. Aku langsung membuka pintu rumah lebar-lebar. Masih tak ada siapa-siapa. Glek! Mendadak aku teringat soal pasar itu, juga soal nenek-nenek di teras rumah kami itu. Aku kembali ke dalam. Diketuk lagi. Aku menelan ludah. Antara membukakan pintu atau tidak, aku bingung menentukan, gelisah, cemas. Jam menunjukkan pukul sebelas. Sepi merayap ke ubun-ubun. Nekat, sekali lagi, kubuka pintu keras-keras ... braakkk! Dan, pada saat inilah Mister X menyerobot masuk seperti biawak menyerbu induk ayam!

Begitulah cara dia menghibur diri, mengerjai penghuni kontrakan lainnya. Cara bicaranya yang lucu kadang membuat kami percaya, atau malah mengira itu cuma sekadar candaan. Tapi, dengan kejadian di pintu, aku jadi tak percaya lagi cerita-cerita hantunya. Ternyata dia bisa mengerjaiku, yang notabene paling sering sukses mengerjainya selama ini (tak perlu kuceritakan di sini bagaimana aku mengerjainya, mungkin di lain kesempatan saja).

Kadang kami dengar ia bersiul-siul santai sepulang dari tempat kerjanya. Bunyi sandalnya membangunkan tidur kami dan itu tidak membuat kami gusar, karena rupanya dia sering membawakan kami nasi kotak dari dapur studio. Maklum, namanya juga anak kost, jadi dia lumayan pintarlah kalau untuk melihat kondisi kami sesama perantau. Koordinasi yang baik dengan bagian PU (kami biasa menyebut orang dapur di lokasi shooting dengan sebutan ini), membuatnya disenangi orang, hingga dibawakanlah beberapa kotak nasi lengkap dengan lauk pauknya, untuk teman-teman di rumah, untuk kami.

Aku heran. Kok bisa seorang yang hidupnya diliputi rasa pahit sepertinya selalu merasa bahagia? Jawabannya sudah pasti bersyukur. Kami semua tahu betapa pahit hidup Mister X. Bermacam cerita kehidupannya—yang kurasa tak perlu disinggung di sini—justru membuatnya makin tegak berdiri. Dia jadi seperti tak pernah punya rasa lelah. Tentu kami penasaran bagaimana ia menjalani hari-harinya dengan penuh tawa. Pada akhirnya kami ketahui juga, bahwa ternyata rasa syukur itu timbul akibat motivasi kuat yang dia miliki: dia ingin membahagiakan keluarganya di kampung.

Ya, motivasi. Ternyata itulah kunci untuk menjadi bahagia dalam proses mengejar mimpi. Dengan menjaga motivasi yang kuat, seseorang akan bisa melihat sejauh mana dirinya berjalan. Jarak yang ditempuh itu pun lantas menjadi lahan introspeksi diri, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bersahabat dengan lingkungan, yakni dengan banyak-banyak bersyukur. Lewat langkah-langkah sederhana inilah, pada akhirnya, seseorang akan terdorong untuk melakukan "aksi" yang lebih dari sekadar "aksi"; satu langkah gagal, akan dibalas dengan dua langkah berani—demi tercapainya tujuan hidup!

Oh, kepada Mister X, hari ini dan detik ini juga, kuucapkan banyak terima kasih untukmu, karena telah memberiku pelajaran berharga. Aku jadi terkenang saat pertama terjun ke dunia literasi. Kukira orang yang menulis bakal dengan cepat memperoleh uang. Itulah motivasiku kala itu. Ternyata apa yang kuyakini ini tidak benar. Bukankah segala sesuatunya butuh proses? Dan, sudah pasti yang namanya proses itu bagaikan gelombang yang bisa naik dan bisa pula turun.

Awalnya aku sadar, bahwa dengan menjaga motivasi saja, nyatanya tidak cukup. Lihat, apa yang terjadi padaku. Motivasiku uang. Aku ingin dapat uang dari menulis? Tak ada salahnya kok aku menginginkan itu, karena setiap penulis pasti berhak menentukan bagaimana arah mimpinya. Ingin jadi kaya? It's okay. Ingin jadi terkenal? No problem. Ingin jadi seperti apa yang kita mau dari menulis? Sungguh, semua itu benar-benar positif untuk kita. Tapi apa dengan memulai langkah awal seseorang pantas menuntut ingin langsung memperoleh keinginan itu, jika tanpa dibarengi proses yang sungguh-sungguh dan tahan banting?

Aku sedih ketika teoriku tak berjalan mulus seperti harapan, yakni teori "sesat" yang meyakini bahwa seseorang tak butuh belajar banyak untuk menjadi maunya. Saat itu aku kehabisan uang karena berkali-kali pergi ke warnet hanya untuk menyalin tulisanku (maklum, aku tak punya komputer). Motivasi untuk mengejar uang ini pun seolah menjadi tekanan tersendiri bagiku. Aku jadi berpikir bahwa bagaimana agar uang menyewa komputer ini segera dapat gantinya, tanpa aku sadar bahwa itu—sedikit banyak—salah.

Jadilah, oleh karena terlalu sering memikirkan uang dan bayang-bayangnya, aku malah tak terlalu menaruh konsentrasi pada tulisanku. Padahal itu justru hal yang paling utama wajib diperhatikan seorang penulis. Tak ada hal lain yang berhak mengganggu jalannya proses perbaikan karya tulis seseorang, termasuk uang sekalipun. Dan aku, aku menyadari itu setelah beberapa bulan menulis sebuah novel untuk pertama kali, tapi hasil yang kudapat tak lebih cari coretan tanpa makna!

"Kalau gue jadi pimpinan penerbit, tulisan loe bakal gue singkirin. 'Kan gue juga mempertimbangkan keuntungan. Gak mau dong, gue buang-buang duit hanya untuk menerbitkan naskah gak berkualitas kayak gini," komentar seorang teman panjang lebar usai membaca beberapa bab novelku.

Dueerr! Petir menyambar dalam kepalaku saat itu juga. Tapi tak ada hujan, karena waktu itu memang belum musim hujan. Yang jelas, perasaanku jadi tak menentu. Pelan-pelan kutinggalkan penaku, kembali ke rutinitas lama tanpa momen-momen merangkai aksara. Tak ada puisi seperti yang selalu kutulis, pun tak kulanjutkan novel yang baru sepersepuluh jadi itu (waktu itu aku belum pernah menulis cerpen).

Meski mencoba menulis lagi, rasanya sungguh tak mudah. Aku tahu aku salah dengan berpikir bahwa proses itu tidak penting. Dan aku sadar, bahwa segala sesuatu yang instan itu tidak baik (aku lupa, padahal pak dokter sering bilang padaku, bahwasannya makan mie instan banyak-banyak itu tidak sehat, ckck). Aku kecewa pada diriku sendiri. Akhirnya, kuputuskan berhenti menulis, sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan.

Dua musim tanpa menulis pun berlalu, begitu cepat, begitu tak terasa. Aku kembali ingat mimpiku, ingat tulisan lama itu: novel yang buruk itu. Tiba-tiba aku ingin kembali menulis. Setelah bertemu orang-orang yang mengajariku tentang motivasi positif, alhamdulillah pelan-pelan aku bangkit. Dari sanalah aku mulai menulis cerpen-cerpen pertamaku, dan dengan pasti memantapkan diri untuk terjun secara total di dunia literasi, menulis berbagai jenis tulisan, mendalaminya, mempelajarinya secara otodidak. Ini terjadi pada pertengahan tahun 2012.

Ternyata benar, segala sesuatu di dunia ini selalu punya dua sisi seperti halnya uang receh. Ada hitam ada putih, ada kaya ada miskin, ada sehat ada sakit, ada pintar ada bodoh, dan lain sebagainya. Sisi positif selalu hadir sebagai teman baik, di kala kejenuhan menghadapi sisi negatif merajai diri. Motivasi itu, ternyata ada yang berbentuk positif dan negatif, tergantung bagaimana efek yang bakal kita terima. Nah, motivasi dalam awal kisahku tadi—motivasi ingin cepat-cepat kaya tanpa mau belajar itu—termasuk bentuk motivasi yang negatif.

Kubuanglah jauh-jauh hal itu. Kuganti motivasiku dengan yang positif. Seperti misalnya aku ingin menulis untuk mengajak orang belajar tentang hidup. Dengan menulis kisah inspiratif yang terilhami perjalanan tokoh di dunia nyata, misalnya, kita bisa mengajak orang lain belajar sekaligus menegur diri, 'kan?

Motivasi positif itu bisa berupa: menulis untuk bicara, yakni membicarakan beban yang mengganjal di hati, tentang ketidakberesan yang masih membudaya di negeri ini, misalnya. Tentunya ini sangat cocok bagi kita yang kurang cakap berbicara di depan publik, sementara banyak hal yang ingin kita sampaikan demi perubahan ke arah yang lebih baik. Nah, cara terbaik adalah dengan menulis. Tulisan kita akan lebih mudah menyebar ke banyak orang dan banyak tempat. Dengan begitu, bertambah banyaklah yang mendengar "suara hati" kita tanpa harus kita bepergian mengisi materi di berbagai panggung. Bertambah banyak pulalah pengaruh positif yang kita bagikan.

Namun, semua itu bukan berarti kita, sebagai penulis, merasa "munafik" dengan menolak hal-hal lain di luar motivasi positif. Maksudnya, bila proses menulis yang dijalani sudah tepat, atau katakanlah sudah tahan banting melewati jalan gelombang itu dengan sungguh-sungguh, insya Allah, nanti bonus yang berdatangan—berupa uang ataupun tiket perjalanan ke banyak tempat—juga akan terus mengalir ke kantung kita.

Aku sendiri, saat ini masih menjalani proses panjang. Dan bagiku proses ini sungguh nikmat. Mendengar kisah-kisah penulis yang lebih dulu sukses, terangkumlah teori paling tepat yang wajib kita terapkan, yakni:

"Jalani proses terlebih dulu dengan sabar, mau belajar, tetap berusaha, dan jujur dalam berkarya (tidak memplagiat/mencuri tulisan orang). Tahan banting dengan berbagai komentar mengenai baik buruknya tulisan kita. Baru, setelah satu demi satu tanjakan berhasil kita taklukkan, "tuntut" apa yang kita inginkan."

Hm, kalau saja motivasi positif itu kita genggam dan terjaga dengan baik, pastilah segala kepahitan yang dialami tidak terlalu membuat kita pusing oleh cobaan yang datang bertubi-tubi di sepanjang perjalanan. Kita akan bersyukur dengan apa yang kita miliki, dengan tidak menyerah dan tetap berjalan meski dengan satu kaki sekalipun.

Aku tak bisa membayangkan—ini cuma seandainya ya, walau sebetulnya berandai-andai itu tak boleh—andai Mister X temanku yang pantang menyerah itu punya motivasi lain selain membahagiakan keluarganya di kampung, seperti ingin bersenang-senang mumpung masih muda misalnya, pasti dia tak akan bertahan lama. Bukannya bersyukur, malah yang ada segala cara dilakukan sampai lupa, betapa kemurnian mimpi tidak layak dinodai oleh pembenaran yang sengaja diada-adakan.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Mari menikmati proses dengan berkarya melalui kejujuran, kesabaran, dan kesadaran hati. Ingat, Tuhan telah mencatat keinginan kita hari ini. Nanti, bila telah tiba waktu yang tepat, akan Dia tumpahkan kebahagiaan itu ke sekujur jiwa dan raga ini, dengan syarat: tidak malas berusaha.

Salam santun, salam pencerahan!

Ken H

Pasuruan, 25 Mei 2014

*Ken Hanggara, penulis dan pecinta sastra. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novel, artikel/esai, dan review. Telah menerbitkan beberapa buku fiksi. Berdomisili di Pasuruan, Jawa Timur.

http://kenhanggara.blogspot.com/2014/05/bersakit-sakit-dengan-proses-bersenang.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun