Mohon tunggu...
Ken Arini A.
Ken Arini A. Mohon Tunggu... -

Urban & Regional Planning Masih dalam proses pembelajaran - Correct me if i'm wrong (CMIIW)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hijaukah Lahan Tani di Green City Surakarta ?

12 Desember 2017   01:55 Diperbarui: 12 Desember 2017   02:39 1654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkenal dengan slogannya yang bertajuk "the spirit of java"  kota Surakarta atau biasa dikenal dengan sebutan Kota Solo merupakan kota kecil dan menengah (secondary city) dari provinsi Jawa Tengah. Surakarta mendapat penghargaan sebagai Green City pada tahun 2012 oleh kementrian lingkungan hidup di era pemerintahan Joko Widodo. Pemkot Surakarta memang gencar melakukan penghijauan pada sudut-sudut kotanya, bahkan kala itu ada sebuah riset yang menunjukkan bahwa Surakarta merupakan kota dengan udara terbersih sehingga merupakan kota yang layak huni.

Terlepas dari gelarnya sebagai Green City ternyata hal tersebut berbanding terbalik dengan tingkat kehijauan lahan pertaniannya. Luasan lahan pertanian di Surakarta kian berkurang akibat maraknya pembangunan di berbagai sektor. Pada tahun 2016 indeks pembangunan manusia di kota surakarta sudah mencapai angka 80,75% , capaian tersebut telah mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 80,14%. Surakarta kini mulai dikembangkan sebagai kota metropolitan, hal tersebut dapat terlihat dari maraknya pembangunan sektor usaha seperti pusat perbelanjaan, penginapan, rumah makan, dan hunian apartemen. Bahkan kini pemkot Surakarta berencana untuk menghapus kawasan persawahan dari peta tata ruang kota karena dianggap sudah tidak berkembang dan tidak cocok bagi wilayah perkotaan.

Menurut peraturan perda RT/RW Surakarta seharusnya menjadi salah satu wilayah yang wajib memiliki lahan pertanian kering maupun basah sebesar 110 ha. Lahan pertanian di kota Surakarta tersebar di 4 kecamatan yaitu Laweyan, Banjarsari, Jebres, dan Pasar Kliwon. Meski lahan pertanian yang tercatat di peta hijau mencapai 110 ha, jumlah tersebut masih belum mengimplementasikan luasan lahan tani secara riil, kisaran kasar lahan tani di kota Surakarta pada tahun 2012 hanya mencapai 100 ha (Kepala Dinas Pertanian Solo, Weni Ekayanti), sedangkan kisaran terbaru menyebutkan bahwa lahan pertanian telah berkurang hingga mencapai 80 ha (Sekretaris Daerah Kota Surakarta, Budi Yulistyanto). Beberapa lahan tanah bahkan sudah tidak produktif lagi, hal ini dimungkinkan karena lahan berada dalam proses alih fungsi serta banyak pemilik lahan yang tidak berdomisili Surakarta sehingga kesulitan dalam pengolahannya. Alih fungsi lahan memang merupakan faktor penyebab utama dari penurunan luas lahan tani di Surakarta, beberapa alasan seorang pemilik lahan memutuskan untuk mengalih fungsikan lahan karena hasil panen yang tidak menentu, naiknya harga panen sehingga mengurangi nilai jual,  infrastruktur kota tidak sebanding dengan hasil panen, hingga sulitnya mendapatkan bibit tanaman dengan harga terjangkau. Maraknya pembangunan kota akibat mobilitas penduduk menjadi peluang menggiurkan bagi para pemilik lahan, lahan pertanian yang dialih fungsikan menjadi tanah siap bangun memiliki nilai jual yang tinggi, bahkan menjual lahan yang belum dialih fungsikan pun sudah mampu memeroleh pundi-pundi keuntungan.

Rencana pemkot Surakarta untuk menghapus lahan tani dalam peta rencana tata ruang kota dapat berdampak besar bagi masyarakat. Pasokan bahan pangan di wilayah tersebut menjadi berkurang sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk, alhasil pemerintah harus mengimpor bahan pangan dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan penduduk hanya saja hal itu membutuhkan modal yang besar dari pendapatan perkapita daerah. Sebagai contoh harga eceran beras di dareah terdekat seperti Yogyakarta dan Semarang pada tahun 2016 rata-rata sudah mencapai Rp.10.000,00/kg (data BPS kota Surakarta), belum termasuk biaya transportasi pengiriman bahan.  Kurangnya bahan pangan juga dapat melambungkan harga bahan pangan di pasaran wilayah tersebut. Selain itu, alih fungsi lahan juga berpengaruh bagi masyarakat yang berprofesi sebagai buruh tani, sebagian besar petani di kota Surakarta merupakan petani penggarap, mereka hanya bekerja kepada pemilik lahan untuk menggarap lahan yang dimilikinya, bila pemilik lahan menjual lahan untuk dialih fungsikan, maka banyak petani yang akan kehilangan mata pencahariannya.

Dalam kasus melambungnya harga bahan pangan, pemerintah memberi solusi berupa penyaluran beras C-4 kulitas medium oleh Dinas Perdagangan dan Bulog Surakarta, beras tersebut nantinya akan dibandrol dengan harga standar Rp.8.000,00/kg sedangkan rata-rata harga untuk beras kulitas sama di pasaran berada pada kisaran Rp.8.500,00 -- Rp.9.000,00 per-kg. Pemerintah menetapkan 5 pasar trasidional untuk distribusi beras subsidi yakni Pasar Nusukan, Pasar Harjodaksino, Pasar Legi, Pasar Gede dan Pasar Jongke, toko yang menjual beras subsidi nantinya akan diberi tanda dengan pemberian spanduk. Sampai saat ini pemerintah tengah melakukan sosialisasi terhadap pedagang pasar, pemerintah menargetkan setidaknya ada satu toko yang menjual beras subsidi di tiap pasar. Bila program berjalan dengan lancar, maka selanjutnya akan didistribusikan kepada pasar-pasar rujukan lainnya.

Walaupun demikian program tersebut kemungkinan hanya akan berpengaruh sedikit dalam pemenuhan bahan pangan dengan harga terjangkau. Pemerintah juga sebaiknya memperhatikan kondisi lahan pertanian yang ada, karna dengan adanya lahan pertanian tersebut pemerintah tidak harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengimpor beras maupun menganggulangi beras bersubsidi. Memperbaiki infrastruktur yang membantu dalam proses pertanian serta mempertegas peraturan dalam RT/RW tentang lahan pertanian. Selain itu pemerintah dapat menanggulangi pengalihan fungsi lahan dengan pemberian bantuan terhadap pemilik lahan, bantuan tersebut dapat berupa pemberian dana, bibit, maupun keuntungan sehingga pemilik lahan dapat mempertimbangkan keputusannya sebelum mengalih fungsikan lahan. Dalam sektor pembangunan, pemerintah setidaknya dapat memetakan lahan terlebuh dahulu sehingga antara sektor pemukiman dan sekor pertanian dapat dikendalikan, apabila lahan pemukiman tidak mencukupi dalam pemetaan pemerintah dapat menanggulanginya terlebih dahulu dengan pembangunan hunian bertingkat sesuai dengan daya tampung lahan.

Solusi bagi pengolah lahan dan buruh tani sendiri antaralain dalam mengembalikan produktivitas lahan, lahan yang mangkrak dapat digarap kembali sehingga hasil pertanian lebih maksimal. Peningkatan kualitas sumber daya manusia juga diperlukan, baik buruh tani maupun pemilik lahan sebaiknya kembali memperdalam ilmu mengenai pengolahan lahan serta bercocok tanam. Keberhasilan dari suatu daerah dalam memajukan sektor pertanian tidak hanya dilakukan oleh satu sisi saja, masyarakat dapat mendukung usaha pemerintah dengan pengolahan sumber daya yang ada. Bila hal tersebut dapat dilaksanakan permasalahan akan lahan pertanian di kota Surakarta dapat teratasi dan lahan tani menjadi hijau kembali.

Sumber data :

https://surakartakota.bps.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun