Pernahkah anda mendapat undangan hajatan mantu pejabat pemerintah daerah ?. Dipelataran parkir biasanya terparkir mobil Patwal milik satpol PP. Disegenap penjuru halaman, orang2 berseragam satpol PP bertugas mengamankan hajatan tersebut disamping sebagai pengatur parkir mobil para undangan. Sebelumnya, nguing2 mobil patwal itu mengawal rombongan pengantin bak mengiring pejabat tinggi negara yang memang perlu pengamanan untuk keselamatan dirinya. Namun, segenting itukah pengantin anak pejabat sehingga harus mendapat pengawalan orang berseragam resmi dan memakai mobil pengaman milik negara ?.
Dari penggunaan satpol untuk acara pengantinan itu saja sudah menunjukkan arogansi pejabat negeri ini, makin arogan lagi satuan pengaman pemerintah daerah itu memakai nama "Polisi". Padahal, jika kita melihat tugasnya yang antara lain mengawal pengantin itu, sebuatan satuan polisi adalah salah kaprah. Lebih salah kaprah lagi, dalam melakukan tugas penertiban ternyata masih didampingi anggota Polri. Lalu apa artinya menyandang sebutan "Polisi" jika satuan tersebut tidak dapat mandiri. Akan lebih baik personil polisinya yang ditambah dengan mengurangi dana alokasi umum untuk gaji satpol PP yang nyatanya hanya untuk gagah2an saja. Lebih cocok istilah Satpol PP diganti dengan Satpam PP, mungkin dengan menggunakan istilah Satpam membuat anggota satpol PP tersebut lebih bersikap persuasive sehingga tidak menyulut benturan dengan masyarakat.
Kekerasan bukan kali ini saja terjadi, para pedagang dan kaum yang terpaksa menghuni daerah larangan adalah mereka2 yang sudah merasakan keganasan satuan ini dalam menghancurkan harta bendanya. Hancurkan, begitulah moto cara kerja satpol PP selama ini, padahal aturan itu dibuat disamping untuk melindungi kepentingan umum, juga ada hak para pedagang "bandel" mendapat perlindungan harta bendanya. Pengadilan tidak difungsikan dalam melakukan penertiban sebaliknya pengadilan difungsikan untuk menghapus hak masyarakat seperti yang terjadi di Tanjung priok. Hak masyarakat untuk menghormati pemukanya harus pula dihapuskan demi kepentingan ekonomi. Piala Adipura, juga dapat dikatakan piala penuh tangisan darah rakyat yang hartanya hancur demi kotanya mendapat penghargaan itu.
Sayang sekali, penggunaan dana rakyat justru untuk melawan rakyat, darah di Tanjung Priok bukanlah yang pertama kali, mungkin akan lebih banyak darah mengalir jika pendekatan penertiban tetap dengan moto hancurkan itu. Pembinaan dan penyediaan fasilitas bagi rakyat adalah tugas utama aparatur pemerintahaan, jauh dari pembinaan, lebih cocok disebut pembinasaan hak rakyat. Jika pemerintah tidak berhasil membangun negeri ini, jangan rakyat yang dikorbankan. Gaya semacam ini masih sangat terlihat, demi piala adipura rakyat dikorbankan, demi kepentingan ekonomi, rakyat lagi menjadi korban.
Barangkali perlu dikaji lagi tugas Satpol PP, sebagai pengiring pengantin mungkin lebih cocok, tidak ada yang dihancurkan, walaupun negara menggaji satuan itu mubajir saja, lebih baik seperti itu dari pada menimbulkan pertumpahan darah dan tangisan masyarakat kecil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI