[caption id="attachment_306550" align="alignright" width="300" caption="HB X dan Mbah Maridjan Alm ( IST )"][/caption] Lebih tepat disebut budaya jongkok, budaya yang berkembang pada masyarakat Jawa masa lalu terhadap junjungannya. Berjalan dalam posisi berjongkok menghadap junjungannya sebagai bentuk penghormatan dan loyalitas adalah sebuah bentuk pengakuan kepatuhan dan ketaatan yang pernah berkembang dalam masyarakat Jawa. Sri Sultan Hamengkubuwono X adalah sosok symbol feodalisme dari masa lalu yang masih bertahan dalam masyarakat Jawa walaupun lambat laun makin terkikis oleh perkembangan zaman. Kita mengenal Abdi dalem dalam kedudukan sosial budaya feodal yang masih bertahan dilingkungan keraton yang pada dasarnya telah menjadi peninggalan budaya. Namun rasa pengabdian mereka tetap ada, hidup mati untuk junjungannya. Mbah Maridjan dapat dikatakan sebagai pelaku budaya abdi dalem itu, tugas juru kunci Merapi yang dianggap bagian dari wilayah kerajaan yang diterimanya pada bulan Maret 1983 dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab itulah yang membawanya kepada kematiannya akibat awan panas letusan Gunung Merapi. Namun wafatnya Mbah Maridjan yang kini menjadi legenda masyarakat Jawa, tidak tergantikan siapapun karena ia lekat dengan tanah leluhur, Merapi, yang merenggutnya hingga gugur. Apalagi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X belum memiliki rencana mencari pengganti Mbah Maridjan. Gubernur HB X sempat menyatakan bahwa Mbah Maridjan dapat selamat jika mau meninggalkan rumahnya sebelum letusan Merapi meletus. Namun Gubernur yang Sultan Yogya itu keliru bahwa Mbah Mardijan bukanlah politisi atau perwira polisi yang mudah lari dari tanggung jawab di medan laga.  Mbah Maridjan memang wafat, namun jiwa dan spiritnya hidup. Banyak orang Jawa percaya, spirit dan jiwa Mbah Mardijan bakal mendinginkan Merapi, menyelamatkan rakyat. Ia dipercaya jadi pusaka tanah Jawa bagi Indonesia. Karena itu, Sri Sultan harus memberikan perhatian pada bagaimana menempatkan jasad Mbah Mardijan secara terhormat. Kalau perlu, Mbah Mardijan dimakamkan di puncak mahameru Merapi itu, demi memori sosial akan keikhlasan, ketabahan dan keyakinan dari Eyang Maridjan ini. Seperti inilah pembenaran dari jalan yang diambil oleh Mbah Maridjan walaupun Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri sesungguhnya menyayangkan jalan yang diambil Mbah Maridjan itu. Sesungguhnya Mbah Maridjan merupakan symbol dari keluguan dan kepolosan rakyat kecil, loyalitas itu akan tumbuh karena hak dan martabatnya dihargai. Salah pandang dalam masyarakat yang berkembang saat ini dalam memandang wafatnya Maridjan ini sesungguhnya menunjukkan banyak yang belum memahami nilai sosial yang merupakan dasar dari sebuah komunitas manusia yang aman dan tenteram. Temu wicara para petani yang dilakukan oleh Suharto dalam masa kekuasaannya adalah sisi terang seorang peminpin yang mampu membaca nilai2 itu. Para petani yang umumnya berpendidikan rendah menjadikan dirinya manusia yang polos dan lugu akan tunduk dan loyal dengan senyuman sebagai bentuk penghargaan terhadap martabatnya. Senyum itu diwujudkan dalam perhatiannya terhadap pembangunan sektor pertanian walupun dibaliknya terdapat sisi gelapnya yang mematok harga pasar beras untuk menekan harga pangan dalam mencegah penduduk perkotaan tidak ribut karena tingginya harga pangan. Penduduk perkotaan yang lebih berpendidikan akan berpikir pada hak dan kebebasan politik adalah titik rawan gejolak, melalui pendekatan pada masyarakat pedesaan itu terjadi perimbangan sehingga Suharto mampu berkuasa selama 32 tahun walaupun gejolak itu tetap ada dalam masyarakat yang berpendidikan. Adalah sebuah contoh nyata, dalam situasi masyarakat yang sedang dirundung bencana, sangat disayangkan para Anggota Dewan yang terhormat itu melenggang melalang buana dengan alasan dananya sudah dianggarkan. Ini membuktikan bahwa para wakil rakyat itu belum mengerti nilai2 kemanusiaan yang berakibat timbulnya kerawanan gejolak masyarakat bukan saja diperkotaan tetapi juga dalam masyarakat pedesaan yang polos dan lugu. Mbah Maridjan adalah potret kesetiaan rakyat yang polos dan lugu, kesetiaan yang terbangun oleh adanya penghargaan terhadap harkat dan martabatnya. Hukumpun menjadikan masyarakat ini sebagai target dari sebuah pembangunan image bahwa aparat telah bekerja dengan baik sehingga disana sini sering terjadi konflik antara aparat penegak hukum dengan masyarakat yang polos dan lugu itu. Sebuah keadaan yang mengarah pada kehancuran sebuah bangsa jika para penguasa negeri ini tidak menyadari nilai2 sosial kemanusiaan. Mungkin pengorbanan nyawa mbah maridjan ini dapat segera menyadarkan para penguasaa, bahwa loyalitas dan kesetiaan hanya akan terwujud apabila hak dan martabat rakyat itu dihormati, bukan dengan bedil atau ancaman. Tewasnya Mbah Maridjan dapat diartikan sebagai bentuk protes terhadap kesewenangan penguasa terhadap rakyat kecil yang polos dan lugu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H