Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politisi Bahenol

26 Januari 2010   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_61197" align="alignleft" width="213" caption="Ilustrasi, diunduh dari Photobhucket"][/caption] Politisi minor, barangkali karena suaranya sering tidak sejalan dengan pemerintah berkuasa bisa disebut politisi minor. Suaranya selalu menganggap apa yang dilakukan pemerintah selalu salah, ibarat penonton sepakbola, berteriak2 menyalahkan pemain tetapi sesungguhnya dia tidak dapat bermain sepakbola . Beda lagi dengan politisi menor, dandanan trendy, naik mobil mahal buatan amerika serikat, bagi2 duit, sepertinya sangat senang melihat tangan rakyat menjulur dan berebut uang uang. Ataksi  pilkada Sulut, kira2 seperti itulah situasainya yang sempat ditayangkan  satsiun televisi kita. Sebuah sindiran atau memang kenyataannya seperti itu ?.  Miris memang melihat situasi pilkada seperti itu, orang sudah tidak melihat lagi etika, secara menyolok memperlakukan rakyat seperti itu. Tetapi tidak juga dapat disalahkan karena rakyat senang diperlakukan seperti itu. BLT, raskin, sebetulnya tidak jauh dari perlakuan seperti itu, padahal kalau ingin membangkitkan rakyat dengan memberikan pancingnya tentu akan lebih terhormat. Banyak politisi menor yang berhasil naik kepermukaan tetapi perannya hanya sebagai kembang saja, tak ada gaung yang terdengar. Artinya, quota peran wanita dalam perpolitikan kita masih sekedar untuk mendulang suara, memanfaatkan kecantikan yang masih bagian dari kesenangan bangsa ini. Senang melihat tayangan sinetron, ingin melihat langsung pujaannya akhirnya panggung sinetron juga mewarnai perpolitikan kita. Kita tanya pada diri kita sendiri, kritik2 begini apakah karena kecewa karena tidak mempunyai kesempatan bersama para politikus itu ?.  Tergantung pergaulan dan kemampuan, itulah yang paling pas mengapa kita berada dimana. Hasil pengamatan saya dan pengalaman, bahwa sesungguhnya modal utama untuk terjun kedalam kancah politik itu adalah orang2 yang bekerja disektor publik seperti pengacara dan kontraktor proyek pemerintah. Tidak heran jika para wakil rakyat kita senang bicara hukum, bicara hukum mewakili kepentingan penguasa, bukan mewakili kepentingan rakyat. Demikian juga dengan pansus angket, dicari terus argumentasi pelanggaran hukumnya, makanya ketika narasumber yang diundang untuk mendifinisikan kerugian negara mengatakan bahwa uang LPS bukan uang negara, sontak saja terjadi hujan interupsi. Mengundang ahli, tetapi penjelasannya dibantah, diinterupsi. Ini kan konyol, bukannya ditampung  pendapat itu justru menjadi sumber perdebatan diantara Anggota Pansus itu sendiri. Juga tidak heran kalau APBN jadi sumber pendapatan selain gaji, kebiasaan atur proyek masih juga tidak bisa dihilangkan. Titip2 angka harus diamini olek eksekutif jika mau anggaran disetujui, jadilah mark up proyek untuk pengamanan. Belum puas juga, tambah2 mata anggaran, eksekutif ok2 saja karena terpaksa, tidak perlu heran jika rombong2 anggota dewan digiring kekantor polisi. Biasanya nanti, dekat2 akhir masa jabatan menjadi waktu balas dendam, akan banyak lagi wakil rakyat  yang digiring polisi karena eksekutif buka kartu. Sekarang ini waktunya aman2 untuk anggota dewan sarapan enak, belum ada yang yang membuat kasus karena belum diangkat kepermukaan, dekat2 pemilu nanti, politik juga menjangkiti eksekutif, korek2 kesalahan anggota dewan agar tidak terpilih lagi, terpilihpun akhirnya di sel polisi. Kalau uang LPS itu bukan uang negara sama saja menjungkirkan Pansus, apa lagi yang mau dibahas kalau LPS bukan uang negara. Stal stel difinisi lewat para ahli yang maksudnya para ahli itu harus memperkuat argumentasi Pansus, tetapi saya anggota pansus juga tidak mungkin kompak satu pendapat. Agar tidak berlarut2, ada baiknya Anggota Pansus diganti dengan politisi menor saja, senyum2 mengundang mata memandang, gak sempat lagi berdebat, lansung ketok palu dengan senyuman yang makin mengembang. Politisi menor itu cantik, pasti hatinya juga cantik karena banyak orang kagum dengan kemurahan senyumnya. Yang cantik itu pastinya yang masih muda, yang tua disebut peot seperti Mak Erot.  kalau belum berpengalaman bisa dimaklumi karena praktek kerjanya masih sedikit. Cantik kalau diberi kesempatan berlatih  akan  pintar dan cantik, maka jadilah dia politisi bahenol.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun