Tempo.co mengangkat lagi wawancara eksklusif dengan Antasari Azhar tahun 2011, Antasari Azhar yang kini sudah berstatus bebas murni oleh permohonan garsinya yang dikabulkan oleh Jokowi. Walaupun grasi tersebut "hanya" mengurangi masa hukuman, namun tak secara otomatis menghapus vonis bersalah yang disematkan oleh Pengadilan, namun secara politik dapat menjadi amunisi politik rezim yang berkuasa
Setidak-tidaknya, dengan statusnya yang disandangnya saat ini, da memiliki keleluasaan untuk mengusut peradilan yang menimpa dirinya. Â Kira-kira apa gerangan yang terjadi dengan diri Antasari Azhar yang nota bene pada waktu itu sebut saja sebagai punggawa hukum lembaga negara superbody?
"Begini. Waktu kantor saya digeledah, polisi membawa tiga bundel berkas laporan masyarakat: BLBI, laporan teknologi informasi KPU, dan satu lagi saya lupa. Berkas itu tak dikembalikan lagi. Saya heran kenapa cuma tiga itu yang diambil dan yang lain tidak" Â Adalah petikan wawancara yang menggelitik dan menimbulkan pertanyaan Antasari Azhar pada waktu itu, mengapa berkas laporan masyarkat menyangkut BLBI dan tehnologi informasi KPU tidak dikembalikan ?
Yang menjadi pertanyaan, apa hubungan SBY dengan berkas BLBI yang disebut Antasari tersebut ? Â Â
Jika dirunut kebelakang, BLBI adalah keputusan pemerintahan orde baru dan terjadi penghapusan hutang BLBI pada era pemerintahan Megawati yang ditengarai berbau uang dibaliknya. Â Dan juga sebelumnya kejaksaan Agung telah mengeluarkan SP3 terhadap hutang BLBI Samsul Nursalim yang kemudian terjadi penangkapan Jaksa Urip dan Artalita oleh KPK karena terjadi suap.
Dengan ditangkapnya Antasari yang disangka sebagai otak pembunuhan Narsudin Zulkarnain, parktis pengusutan BLBI pun masuk kotak namun ketika masalah ini akan diangkat lagi oleh Abdullah Samad, seperti kita ketahui Abdullah Samadpun terjerat masalah KTP.
Terkait dengan pemberian grasi oleh Jokowi kepada Antasari, seperti kita ketahui SBY menyatakan pengabulan grasi tersebut lebih berbau politik, jika dilihat dari kasus BLBI yang menjadi "keramat" untuk ditangani  ungkapan tersebut menjadi beralasan. Sebab, pengusutan BLBI tersebut terjadi pada era SBY dan ucapan Antasari yang dikaitkan Aulia Pohan tidak nyambung dengan  sinyalemen yang diutarakan Antasari tahun 2011 terkait dokumen yang tidak dikembalikan.
Sikap SBY yang dengan tegas tidak mencampuri konflik antara KPK dan Polri ini pada waktu itu, seolah menjadi pembiaran Polri mengobok2 KPK yang menjelma menjadi lembaga superbody tanpa pengawasan. Bukan hanya dengan Polri, juga terjadi friksi antara DPR dan KPK. Â Ada semacam kekuasaan yang dimiliki lembaga adhoc dalam kekuasaan negara yang permanen tentunya dapat menggoncangkan kekuasaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK tanpa kendali.
Kiprah Antasari yang menyasar BLBI  lebih cenderung menyasar pada performa pemerintahan sebelum SBY, secara politik mestinya menguntungkan SBY. Namun, ketika Antasari menyasar Aulia Pohan yang merupakan  besan SBY, moment inilah yang  bisa jadi dimanfaatkan  untuk menghentikan langkah Antasri sehingga terkesan dugaan kriminalisasi itu diinisiasi oleh SBY.
Namun belakangan PDIP berusaha merangkul SBY dengan harapan memperoleh limpahan suara AHY, begitu yang dipahami publik. Namun jika dilihat dari jawaban SBY atas tudingan Antasari yang meninta agar kasus itu dibuka sejelas2nya, agaknya Antasari menjadi alat politik semata. Sebab, apa yang diperjuangkan Antasari adalah menyangkut kepentingan dirinya  pribadi yang merasa dikriminalisasi.
Tergambarnya posisi SBY dari hasil pemungutan suara pilgub DKI, suara Rizieg maupun Antasari akan senyap, berganti dengan upaya menarik SBY dalam kesepakatan politik diantara dua paslon yang masih bersaing.  SBY sudah menyatakan nonblok  seperti halnya pada pilpres 2014 lalu.  Bahasa politik SBY yang lebih tepat disebut soliter ini tentu dapat dipahami untuk menempatkan AHY sebagai penerusnya  kelak dalam percaturan politik tanah air dimana SBY telah membidani partai demokrat yang kini dipimpinnya sendiri.