Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pembelaan ala Ahok, Lempar Batu Sembunyi Tangan?

5 Januari 2017   16:08 Diperbarui: 5 Januari 2017   16:18 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengadilan Negeri Solo, menyidangkan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Andrew Handoko Putra. Andrew ditangkap aparat Polda Jawa Tengah awal November lalu atas kasus perobekan Alquran milik warga Solo lainnya. Sidang perdana tersebut mendapat pengawalan ketat dari ratusan aparat Polresta Solo. Bahkan pengunjung yang hadir harus melewati pemeriksaan aparat. Puluhan warga yang merupakan anggota ormas Islam juga nampak dalam persidangan tersebut.  Andrew ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama dengan tempat kejadian perkara (TKP) di Solo. Meski kejadiannya di Solo, namun kasusnya langsung ditangani oleh tim penyidik dari Polda Jawa Tengah.

Di Jakarta, Ahok kembali duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa dalam sidang ke 4 kasus dugaan penistaan agama. Ada empat orang dihadirkan sebagai saksi pelapor oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).  Walaupun sidang dilaksanakan tertutup untuk media, meski begitu, Novel, salah seorang yang dihadirkan oleh JPU  membeberkan semua hal diungkap dalam persidangan tentang kasus Ahok. Dia menyebut bahwa gubernur nonaktif DKI Jakarta itu telah tiga kali melakukan penistaan agama dengan memakai surah Al Maidah. Salah satu dugaan penistaan dilakukan Ahok, saat bersama Partai NasDem.

Berbeda dengan Andrew yang ditahan tentunya tidak memiliki kebebasan berdiam dibalik jeruji menghitung hari, Ahok yang tidak ditahan ini lebih leluasa dengan kebebasannya termasuk mengeluarkan pendapat. 

Setiap terdakwa berhak atas berkas dakwaan yang antara lain berkas Berita Acara Pemeriksaan ( BAP ) dan salah satunya BAP atas nama Novel, sebutlah orang paling mengesalkan bagi Ahok. BAP ini diolah menjadi sebuah lelucon yang langsung menjadi viral di media sosial.

Seorang politikus memang harus mampu mematahkan lawan politiknya, sebagai terdakwa demikian juga harus mampu mematahkan kesaksian yang memberatkannya. Namun, apa yang disampaikan Ahok menyangkut BAP Novel yang menjadi viral di media sosial sudah keluar dari konteks pembelaan hukum itu sendiri.

Yang terjadi sesungguhnya adalah kesalahan pengetikan yang dilakukan penyidik mengikuti lafal penyebutan gerai waralaba itu, bukan suatu yang prinsip dalam konteks pembelaan hukum.  Sedangkan yang berkembang kemudian adalah kata-kata cemoohan dan langsung menjadi bahan pembelaan oleh netizen untuk Ahok yang tak lain untuk membangun opini.

Dukung mendukung  kepada tokoh politik adalah hal yang lumrah, namun dalam dukung mendukung dalam proses hukum jauh dari hal yang menguntungkan justru sebaliknya menimbulkan friksi ditengah masyarakat yang akan memancing aksi-aksi balasan.

Jika pemimpin seperti ini, niscaya akan menimbulkan kegaduhan berkepanjangan, Sebut saja Novel adalah lawan dalam proses hukum, mestinya berbeda dengan lawan politik. Tanpa disadari, bahwa rakyat sudah menjadi alat politik karena system pemilihan langsung yang memandang citra tokoh.

Dalam politik, norma dan etika hanya akan digunakan jika dipandang menguntungkan sedangkan dalam kehidupan sosial masyarakat, norma dan etika menjadi hal yang utama.  Sebagai misal, seseorang melintas dengan gaya yang tidak patut akan mengundang kemarahan adalah sering kita jumpai karena moral dan etika merupakan yang utama.

Ucapan Ahok yang disebarkan melalui media dengan menyerang karakter Novel, ibarat melempar batu yang akibatnya  terjadi saling serang antara yang pro dan kontra Ahok. Tak lain akan terkait dengan perkara yang sedang dihadapinya untuk membangun opini lawan Ahok dipengadilan adalah manusia munafik, pembohong. Analisa hukum pun dibuat, Novel memberikan keterangan palsu, seperti itu kira-kira esensinya.

Terlepas dari apakah Ahok menjadi terdakwa oleh karena adanya tekanan publik atau tidak, mestinya harus menghormati proses hukum yang sedang berlangsung, namun faktanya yang sangat mungkin kesalahan pengetikan karena berdasarkan lafal yang didengar, dalam medsos  seperti halnya dikompasiana sudah dijustifikasi seolah sebagai keterangan palsu. Yang menjadi pertanyaan, apakah sudah tertutup pembelaan bagi Ahok sehingga hal-hal yang tidak relevan menjadi bahan pembelaan?  Sehingga makin terlihat akal-akalan yang justru menggambarkan keterpojokan dalam menghadapi masalah yang dibuatnya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun