Rizieq Shihab akhirnya hampir pasti mengikuti jejak Ahok sebagai tersangka. Kalau Ahok menjadi tersangka penistaan agama, maka Rizieq akan menjadi tersangka penistaan Pancasila nantinya. Bedanya, sebelum Ahok menjadi tersangka, Rizieq harus mengerahkan jutaan massa 411 dengan biaya ratusan milliar Rupiah. Sementara untuk menjadikan Rizieq tersangka, tak perlu ada demo apapun dan hanya menelan biaya beberapa ribu Rupiah saja.
Paragaraf berita yang saya kutip dari  liputan berita.net ini adalah salah satu dari opini  media yang membandingkan kasus Ahok dan Habib Rizieq yang mengindikasikan betapa mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk menjadikan Ahok sebagai tersangka yang merupakan pertarungan politik antara Jokowi dan SBY.
Seperti diatas adalah opini yang dibentuk bahwa hukum  juga digunakan sebagai alat politik dalam persaingan kekuasaan di Indonesia. Kapolri menyatakan, semua laporan akan diproses, tidak perlu harus menunggu selesainya pilkada. Kasus Ahok dijadikan jurisprudensi untuk mengenyampingkan perkap pendahulunya yang memungkinkan penundaan proses hukum sampai selesainya pilkada untuk menhindari politisasi.
Ditengah saling  lapor ke polisi menjelang pilkada DKI saat ini, terbetik berita KPK menangkap mantan menteri hukum dan Ham yang kini menjabat sebagai hakim konstitusi, PA yang juga politisi dari Partai Amanat Nasional.  Penangkapan tersebut sekaligus mengukuhkan bahwa uang dapat menetukan hukum, uang dapat mengendalikan hukum  namun sulit dibuktikan kecuali dengan operasi intelejen seperti yang dilakukan oleh KPK. Kalau budaya suap sudah menjangkiti garda konstitusi, penegakan hukum bisa jungkir balik karena faktor uang.
Tertangkapnya hakim konstitusi bukan pertama kalinya terjadi. Sebelumnya Ketua MK Akil Mochtar juga ditangkap KPK di kediamannya pada tahun 2013 silam. Akil Mochtar merupakan politisi dari Partai Golkar yang sebelumnya duduk sebagai wakil rakyat di DPR sepertihalnya PA.
Bukan itu saja, KPK dalam OTT nya beberapa waktu lalu menyeret Wakil Rakyat, Anggota DPD RI, Panitera, Hakim, Pejabat MA, Pengacara, pengguna Anggran pemrintah  dan pihak swasta yang mengindikasikan suap dan korupsi sudah menjangkiti segala lini sampai garda kontitusi negara kita.
Dalam keberadaan lembaga ati rasuah ini, beberapa kali terjadi friksi antara KPK dan Polri. Antasari Azhar, mantan pimpinan KPK ini walaupun akhirnya mendapat garsi dari presiden Jokowi tak lantas berencana menghentikan upaya membuka tabir dibalik  kriminalisasi yang dirasakanya.  Bukan tidak tertutup kemungkinan terjadinya kriminalisasi mengingat budaya suap dan penyalah gunaan jabatan juga menjangkiti lembaga hukum sampai pada tingkatan tertinggi.
Sebelumnya, KPK mendapat tekanan agar mengusut dugaan korupsi yang melibatkan Ahok, secara tegas KPK menolak tekanan tersebut walaupun dengan alasan yang dinilai tidak masuk akal, tidak ditemukan niat yang menjadi viral dimedia sosial. Bisa dimengerti, KPK tidak hendak terjebak dalam urusan yang berbau politik. Namun, dengan dalih tekanan masa Islam, Polri mentersangkakan Ahok yang akhirnya digunakan sebagai Yurisprudensi semua laporan harus diproses  walaupun harus mengesampingkan perkap pendahulunya.
Tak pelak lagi, media yang saya sebut diatas mulai membangun opini bahwa keputusan polri tersebut menjadi langkah pembalasan Jokowi yang membuat SBY ketar ketir. Padahal dalam konteks masalah hukum, presiden sekalipun tak ada kewenangan untuk melakukan intervensi.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI