Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Opini Publik Versus Putusan Hakim Terhadap Jessica

2 Oktober 2016   04:20 Diperbarui: 2 Oktober 2016   10:02 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam waktu singkat, penyidik telah menetapkan Jessica sebagai tersangka pelaku tunggal pembunuhan berencana terhadap Mirna dengan hukuman yang tidak main-main maksimal hukuman mati. Sangkaan yang pastinya membuat siapapun merasa shock dan tertekan,  penetapan P21 menjelang habisnya masa penahanan menunjukkan kerja polisi yang sungguh-sungguh untuk memenuhi petunjuk jaksa. Sama sepertinya JPU, sangat mungkin dipicu oleh pemberitaan yang begitu genjar, yang sudah "terlanjur" terbentuk stigma Jessica sebagai pelaku, diambil kesimpulan  berdasarkan rekaman CCTV, paperbag yang diletakkan diatas meja diyakini untuk menutupi perbuatan Jessica menaruh Cyanita di gelas Kopi vietnam  yang dipesan untuk Mirna.

Sebelumnya, sebagai senajata rahasia pendukung , penyidik memiliki catatan kriminal Jessica di kepolisian Australia, paling tidak semula atas pemberitaan tersebut mempengaruhi opini publik yang memperkuat hasil kerja kepolisian mentersangkakan Jessica sebagai pelaku tunggal pembunuhan berencana terhadap Mirna Salihin.  Demikian juga pada awal persidangan, salah seorang  anggota Majelis hakim begitu yakin dengan kinerja kejaksaan yang mendakwa Jessica sebagai pelaku pembunuhan.

Jalannya persidangan yang dilangsungkan yang disiarkan oleh media televisi secara live merupakan jawaban pemberitaan sebelumnya yang telah lebih dahulu menciptakan stigma bersalah kepada Jessica. Fakta persidangan yang diikuti secara langsung oleh jutaan pasang mata  publik itu lambat laun berbalik menjadi ajang investigasi terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan yang mengundang pendapat praktisi hukum seperti Hotman Paris Hutapea atau Luhut Pangaribuan.

Seperti dalam fakta persidangan yang menghadirkan anggota kepolisian Australia, ternyata berisi catatan mengenai pelanggaran lalulintas, laporan tidak masuk kerja, kehilangan dompet dan laporan kekhawatiran pacar Jessica yang boleh dikatakan jika di Indonesia laporan kecopetan, pelanggaran lalu lintas yang biasa terjadi damai ditempat dan yang menarik justru laporan yang sifatnya proteksi terhadap Jessica karena kekhawatiran bunuh diri. Demikian pula adanya saksi ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum terhadap pendapat saksi ahli yang dihadirkan oleh JPU menjadi antiklimaks dari pemberitaan sebelumnya.

Sebut saja, pendapat kedua praktisi hukum tersebut mewakili opini publik yang tidak memiliki interest apapun kecuali oleh rasa penasaran menilai penegakan hukum yang selama ini masih carut marut oleh budaya KKN.  Pada posisi tertekan oleh opini publik, tak kurang Kapolri angkat bicara walaupun sifatnya masih normatif atas kinerja Krishna Murti yang memutuskan menahan Jessica.

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa perpanjangan penahanan diputuskan oleh ketua pengadilan Negeri  artinya, putusan bebas memiliki konsekwensi terhadap penyidik, JPU maupun hakim itu sendiri. Sehingga, sangat jarang terjadi majelis hakim memutus bebas karena memiliki konsekwensi pada dirinya sendiri. Terlebih kewenanangan hakim yang memiliki keputusan berdasarkan pertimbangan yang dirangkumnya sendiri yang menjadi celah terjadinya pengaturan perkara yang umum terjadi.

Seluruh fakta persidangan dicatat oleh panitera pengganti ( PP ), dalam sebuah perkara perdata yang saya temui, keterangan saksi diganti sebagai pertimbangan memutuskan tidak mengabulkan gugatan.  Tak mengherankan seperti Rohadi, panitera pengadilan yang kini menjadi pesakitan KPK mampu mengatur perkara karena praktik mengganti catatan fakta persidangan untuk kepentingan uang sangat dimungkinkan untuk dilakukan.

Menjatuhkan putusan bebas terhadap Jessica memiliki konsekwensi atas penahanan yang dijalani Jessica, memutuskan bersalah akan berhadapan dengan opini publik yang cenderung sudah berbalik.  Ibarat buah simalakama, putusan apapun memiliki konsekwensi karena system peradilan itu sendiri yang masih berbau peninggalan kolonial sebagai alat kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun