Teringat masa lalu, begitu mudahnya mencari pekerjaan selepas menempuh pendidikan. Tinggal memilih mana pekerjaan yang paling sesuai, baik job maupun salary. Sempat bergelut dalam pekerjaan pada lembaga dunia yang berhubungan dengan dunia pemerintahan, bergabung bersama para ekspatriat dari mancanegara, memasuki dunia pemerintahan lintas sektoral sampai dunia parlemen.
Ketika saya bertemu dengan kepala daerah untuk mewakili lembaga dunia itu, pertanyaan yang saya lontarkan adalah apa yang dibutuhkan oleh daerah ini? Pandangan terhadap para bule rombongan saya, mereka itu berbau uang, mereka itu datang akan membawa kesejahteraan, mereka itu akan membantu bangsa kita. Tidak ada yang tahu siapa para bule itu dan apa yang ada dalam pikiran para bule itu. Mereka juga bukan umat muslim yang ingin memberikan sedekah.
Sudah lama dunia itu saya tinggalkan, namun pengalaman itu tak hilang begitu saja. Dari pengalaman tersebut, sebuah pelajaran yang sangat berharga, bahwa budaya irlander itu masih begitu mengental. Begitu juga budaya feodal sebagai pengaruh dari sistem pemerintahan kolonial.
Sebuah keputusan saya ambil. Keputusan yang dianggap bodoh, keputusan yang tidak memikirkan kebutuhan hidup, begitu kesan yang saya terima dari sekeliling kita. Hanya itu yang saya dapat perbuat mengikuti kata hati yang tidak bersedia mengikuti mental irlander yang sudah begitu melekat.
Sebuah penjajahan gaya baru bisa dengan mudah menguasai negeri ini dengan memberikan utang sebagai umpan, padahal mereka masuk ke perut harga diri bangsa kita karena mental korup bangsa kita, mental tangan di bawah, mental pengemis yang dibentuk berabad-abad oleh kaum kolonialisme.
Utang uang tak terbayar dengan menggadaikan harta bangsa hingga suatu saat kita terjun dalam krisis keuangan dan ekonomi yang menimbulkan kerawanan sosial dan akhirnya kita menjadi negara yang lemah, hilang kedaulatan di bawah kendali IMF.
Tidak ada yang perlu dimintai pertanggungjawaban karena pengaruh krisis global adalah alasan yang tepat. Tidak terjadi saling menyalahkan seperti yang berkembang pada saat ini. Negara-negara Barat itu sudah mendapatkan kendali Indonesia. Wajah baik hati itu sudah berubah karena sudah tahu isi perut Indonesia. Agaknya, dan sangat mungkin itulah alasan Indonesia berpaling ke China.
Privatisasi proyek-proyek publik adalah jalan keluarnya. China segera melahap proyek-proyek tersebut. Sudah pasti akan berdatangan buruh-buruh China. Kedatangan buruh-buruh China tersebut merupakan invasi peluang kerja bangsa kita yang masih dalam kesenjangan sosial yang lebar. Tak pelak lagi timbul friksi rasial dengan latar belakang agama seperti yang mengiringi aksi 212 dalam jagat maya negeri ini.
Berdikari agaknya sudah dilupakan, hanya slogan politik untuk bersaing dalam meraih kekuasaan. Yang menjadi pertanyaan, adakah negara-negara kiblat Islam yang membantu Indonesia dalam situasi sulit?
Utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai 4 200 triliun lebih. Kalau dibagi penduduk Indonesia, dari bayi sampai nenek-nenek dan kakek-kakek dibebani utang ini kira-kira per kapita terkena beban utang rata-rata Rp 16 juta dan utang itu dijamin oleh APBN atau dijamin oleh rakyat melalui persetujuan wakil rakyat di DPR.
Ironisnya, anggota DPR yang mestinya menjaga rakyat dari lilitan hutang yang makin mencekik leher justru menjadi calo proyek yang pada akhirnya dicokok KPK. Inilah yang terjadi saat ini. Biaya pembangunan menjadi sangat mahal sehingga manfaat pembangunan tidak sesuai dengan peningkatan pendapatan negara yang menimbulkan defisit terus-menerus yang membuat utang itu makin menggurita.