Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Hakim Berani Terima Suap?

6 Juli 2016   04:21 Diperbarui: 6 Juli 2016   04:53 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum lama berselang KPK menangkap seorang panitera dalam sebuah operasi tangkap tangan ( OTT ) menyusul sebelumnya melakukan hal yang sama melibatkan pejabat Mahkamah Agung  serta pengacara terkait dengan pengaturan perkara. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara mengatur perkara ?

Ketika saya menghadapi sebuah perkara yang saya sangat yakin tidak mungkin ada pelanggaran atas apa yang dilaporkan karena bukan perbuatan saya, saya dianggap tidak kooperatif dan mengalami intimidasi yang akhirnya bisa naik perkaranya setelah saya dijebak oleh pengacara saya sendiri yang saya duga bekerjasama dengan isteri dan pegawai saya sendiri. Atas kejadian tersebut, saya lakukan penelusuran mencari tau celah apa yang digunakan untuk mengatur perkara.

Sebuah kesimpulan saya dapatkan, bahwa barang bukti hanya bersifat memenuhi syarat normatif sedangkan masuk unsur atau tidaknya diatur oleh kesaksian sebagai dasar pendapat penyidik untuk membidik pasal yang disangkakan. Trik pengaturan perkara ini juga dilakukan oleh majelis hakim dengan cara yang sama, bahkan kalau saksi itu dianggap meringankan dan kesaksiannya dapat mematahkan dakwaan, hakim bisa mengganti kesaksian agar dakwaan meyakinkan.

Dalam persidangan, peran panitera adalah mencatat  fakta kesaksian dalam persidangan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan hakim untuk memutuskan, dari peran inilah celah pengaturan perkara dilakukan. Sebab, Panitera inilah yang berhubungan lansung dengan pengcara dalam pengaturan jadual sidang sekaligus  melakukan pencatatan fakta persidangan. Dengan demikian, panitera adalah orang paling mengetahui fakta persidangan sehingga dalam kasus suap pengaturan perkara akan pula melibatkan panitera sebagaimana yang dicokok oleh KPK dalam OTT. Sedangkan pada tingkat banding atau kasasi hanya melakukan pemeriksaan berkas.

Hakim dalam hal ibarat memiliki kewenenangan sebagai malaikat yang boleh menentukan nasib seseorang, menyidangkan dan memutuskan sekaligus karena dalam prakteknya tidak ada pengawasan dalam pelaksanaan persidangan yang bersifat independen. Terjadinya pemalsuan kesaksian sangat mungkin dilakukan dan hal ini saya temukan dimana seorang saksi yang saya hadirkan yang seharusnya masih memiliki hak yang harus dipenuhi sebagai alas dasar peralihan hak tanah oleh notaris, dalam putusan hakim diganti telah lunas untuk menghindarkan notaris dari konsekwensi hukum.

Putusan pengadilan yang saya yakin berbau rekayasa saya gunakan sebagai bahan gugatan, langkah pertama untuk membuktikan adanya rekayasa hukum, pelapor saya gugat lebih dahulu untuk memancing jawaban pembelaan. Diperoleh jawaban bahwa saya sudah diputus pidana. Dari jawaban tersebut saya gunakan sebagai bahan gugatan terhadap notaris dimana  kesaksiannya dicatat dalam putusan harus bisa membuktikan kebenaran kesaksiannya. Agar gugatan tersebut tidak diterima, setelah saya baca pertimbangan hakim, kesaksian dari saksi diganti untuk meloloskan notaris. 

Namun dari persidangan tersebut saya mendapatkan bukti valid  yang merupakan tujuan utama dari pada kemenangan karena target utama adalah asset saya yang "dijarah" secara hukum dapat kembali. Trik hukum yang digunakan saya nilai sangat ceroboh yaitu dengan membidik pengacara saya melakukan pelanggaran kop surat dengan kesaksian bohong dan dokumen yang tidak lengkap, kemudia saya "dibohongi" oleh penyidik  yang mengatakan BAP diulang yang nyatanya perkara displit sedangkan perkara pengacara saya dipeti eskan. Diduga kuat, pengacara ini sengaja mengaku bahwa perseroan dan seluruh asset nya berupa lahan perumahan  telah saya jual.

Notaris dalam hal ini mengganti SK Menkumham dengan surat keluar tanda bukti perubahan data perseroan dan tidak ada perubahan anggaran dasar, anggaran dasar perseroan " disimpan" oleh Notaris atau tidak digunakan didalam rekayasa hukum ini. Anggaran dasar perseroan inilah yang saya gunakan untuk memblokir asset di BPN.  Akibat tidak digunakan anggaran perseroan tersebut dalam proses hukum, yang diperoleh pelaku adalah hutang perseroan karena rekayasa hukum bahwa perseroan bukan milik saya. Sebab, tanpa mendasari anggaran dasar perseroan, pelaku tidak dapat melakukan transaksi karena keputusan dalam perseroan adalah RUPS dimana saya mengusai mayoritas mutlak dalam pengambilan keputusan.

Setelah saya melakukan gugatan terhadap notaris yang bersaksi dalam proses hukum berbau rekayasa, bukti persidangan yang saya dapatkan menjadi bahan pertanyaan kepada bank, mengapa bank mengganti jaminan dengan asset pribadi pelaku yang dijual untuk melunasi kredit  ? Diperoleh jawaban bahwa asset perseroan yang menjadi jaminan bermasalah ( memang faktanya saya yang memblokir).  Jawaban yang tanpa disadari merupakan pengakuan, menerima jaminan bermasalah atau "bodong" adalah modus pembobolan bank yang memanfaatkan asset milik saya. Atas jawaban seperti itu, saya gugat lagi bank tersebut, bank tidak boleh bohong, harus buktikan tanah jaminan tersebut bermasalah dimuka persidangan.

Tak lama berselang saya mendapat undangan mediasi dari BPN, dihadapan pelaku saya katakan, kata penyidik, kata hakim, kata orang-orang, kata hakim, perusahaan bukan milik saya mengapa saya diajak berunding ? Diapun mengeluh sudah habis uang banyak. Budaya korup itu saya manfaatkan untuk menghadapi perkara yang bertujuan menjarah asset saya, pelaku menjadi ATM yang menguras harta bendanya namun tak ada hasil yang dia dapat. Tidak pernah menang dalam perkara karena tujuan saya bukan kemenangan namun menjadikanya sebagai ATM beramai ramai. 

Dalam kasus pembelian tanah oleh Dinas Perumahan DKI, diduga kuat juga modus penjarahan asset dengan menggunakan celah hukum yang korup memakai metode yang lebih kurang sama dengan hasil "penelitian" saya. Dari pemberitaan bahwa tanah tersebut dibeli tahun 1957 dan tahun 1967 namun tidak diurus oleh dinas Pertanian dan tanaman Pangan ( sekarang Dinas kelautan dan ketahanan Pangan )  dan dikuasai pihak lain yaitu PT Sabar Ganda. Bisa dilihat pada undang-undang pertanahan, siapa yang berhak atas tanah tersebut jika tidak diurus lebih dari 25 tahun. Masuk akal kalau PT. Sabar Ganda bertahan menguasainya hingga digugat oleh pemprov DKI. Pemprov DKI bertujuan untuk mendapatkan pertimbangan hakim yang bisa direkayasa untuk mengusir PT. Sabar Ganda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun