Ahli Patologi Forensik Djaja Surya Atmadja dalam persidangan ke-19 kasus kopi sianida mengungkapkan tiga ciri khas orang keracunan sianida yang tidak ditemukan pada jenazah Wayan Mirna Salihin. Apa yang diungkapkan oleh saksi ahli ini lebih kurang senada dengan pendapat Prof Ong Beng Beng, Ahli patologi forensik asal Brisbane, Australia, yang menilai bahwa kematian Wayan Mirna Salihin belum tentu karena keracunan sianida. Ia pun menduga Mirna bisa saja meninggal karena sakit jantung. Kesaksian ahli yang dihadirkan oleh pengacara Jessica Wongso ini bertolak belakang dengan kesaksian ahli yang dihadirkan oleh JPU yang membuat suasana sidang "gaduh".Â
Sebuah kasus kematian yang sangat cepat diungkap oleh pihak kepolisian dengan dugaan kuat Jessica adalah pelakunya yang menggunakan racun cyanida, pada penghujung persidangan ini seolah menjadi anti klimaks. cyanida bukan penyebab kematian Mirna. Penyebab kematian Mirna, menurut saksi ahli pihak Jessica tidak dapat disimpulkan karena salah satu penyebabnya pihak keluarga Mirna tidak mengizinkan dilakukan otopsi jenazah secara lengkap.
Yang menarik disini, ayah Mirna yang begitu gigih menuding Jessica sebagai pelaku pembunuhan anaknya ini mendapatkan fakta persidangan bahwa sikapnya yang "tidak rela" tubuh anaknya  diotopsi justru menjadi penyebab sulitnya mendapatkan kepastian penyebab kematian. Jika pendapat ahli dari pihak Jessica menjadi pertimbangan hakim, bukan tidak mungkin ayah Mirna harus menerima kenyataan bahwa kematian anaknya mungkin disebabkan hal lain.
Yang dapat ditarik dari peradilan ini adalah system yang disebutkan dapat menjadi penghambat dalam pencarian kebenaran seperti halnya pada persetujuan untuk melakukan otopsi sehingga kebenaran itu menjadi tergantung pada pendapat yang nota bene tidak dapat selalu sama antara saksi ahli yang satu dengan ahli yang lain seperti yang terjadi pada persidangan kematian Mirna.
Namun lebih dari itu, bahwa system peradilan yang ada saat ini masih memungkinkan terjadinya sebuah rekayasa hukum yang bermotivasi penyalah gunaan kewenangan karena kepentingan atau imbalan. KPK telah berulangkali menguak adanya penyalah gunaan kewenangan dengan cara OTT adalah sebuah gambaran peradilan yang berkembang saat ini rentan terjadi sebuah rekayasa hukum.
Seperti dalam peradilan Jessica, apabila pendapat ahli yang diajukan oleh kuasa hukum Jessica tidak menjadi pertimbangan hakim, bisa dipastikan putusan akan membenarkan dakwaan JPU. Tak mengherankan terjadi kegaduhan dimana kesaksian yang tidak selaras dengan pendapat saksi ahli yang diajukan oleh JPU karena dinilai mematahkan dakwaan jaksa sekaligus menjadikan bukti persidangan menjadi tidak relevan atau tidak mendukung karena sikap ayah Mirna yang tidak rela jenasah anaknya diotopsi dalam mencari penyebab kematian secara lebih lengkap..
Sejak kasus ini bergulir, media sudah ikut membangun opini bahwa kematian Mirna disebabkan oleh racun Cyanida dan yang terlihat disini adalah adu strategi antara JPU dan penasehat hukum Jessica. Ibarat kata, semua peluru yang dimiliki oleh JPU sudah berhamburan dan sudah terbaca sasaranya yang ikut dikembangkan keluarga Mirna melalui media. Namun dipenghujung persidangan terungkap bahwa peluru yang berhamburan tersebut adalah peluru hampa.Â
Sehingga disini, apakah Jessica adalah seorang pembunuh atau bukan akan tergantung dari pertimbangan hakim, pendapat yang mana yang diterima. Sebuah peradilan yang menyatakan seseorang sebagai pembunuh atau tidak menjadi tergantung pendapat majelis hakim. Sebuah pertaruhan integritas para hakim yang diberi kewenangan menentukan nasib seseorang apalagi integritas para penegak hukum saat ini sedang menghadapi ujian oleh beberapa kasus yang menyangkut dugaan pengaturan perkara yang terungkap dalam OTT KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H