Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Senyum Otto Hasibuan

17 September 2016   19:57 Diperbarui: 17 September 2016   20:08 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di awal awal persidangan sebelumnya, JPU menayangkan rekaman CCTV untuk memperkuat dakwaanya yang ditayangkan beberapa stasiun televisi, tayangan televisi inilah yang oleh penasehat hukum Jessica diminta untuk dianalisa kepada Rismon Hasiholan Sianipar, dosen Universitas Mataram, NTB, yang kemudian bersaksi didepan sidang.  

Adu argumentasipun berlangsung sengit, pihak JPU dan saksi ahli JPU yang dihadirkan mempersoalkan hardware dan software yang digunakan oleh Rismon serta mempersoalkan latar belakang saksi ahli. Rismon pun membuka curriculum vitae (CV) yang telah dia siapkan untuk ditampilkan di layar proyektor. 

Dia merupakan dosen Teknik Elektro Universitas Mataram dan lulusan S-1 serta S-2 Teknik Elektro Universitas Gadjah Mada dan S-3 Yamaguchi University Jepang. Dia juga penerima beasiswa program Monbukagakusho dari Pemerintah Jepang pada tahun 2003-2008. Fokus keilmuan yang dia kuasai untuk bersaksi dalam persidangan ini adalah soal penyandian dan penyembunyian data berupa gambar serta video.

Berbeda dengan Roy Suryo yang lebih banyak tampil dilayar kaca, sebaliknya Rismon lebih banyak berada dibalik layar sehingga kurang dikenal oleh publik sehingga harus memperkenalkan jati dirinya didepan publik. Mungkin inilah kejutan yang dilakukan oleh Otto Hasibuan, menggunakan ahli yang tidak dikenal publik untuk "menguliti" JPU, panggungpun berada ditangan Otto Hasibuan yang menampilkan bintang yang tidak dikenal yang memancing saksi ahli yang dihadirkan JPU seperti kebakaran jenggot yang mengklaim tehnologi yang digunakan paling mumpuni. Senyum Otto  Hasibuan berhasil memancing emosi pihak lawan ini menjadi tontonan terlebih ketika menegur Roy Suryo yang dinilai mengganggu jalannya persidangan yang menimbulkan suasana gaduh. 

Sebuah proses peradilan yang lebih mengedepankan kekuasaan dengan persepsi yang didukung oleh kewenangan sering terjadi seseorang yang menjadi tersangka atau penasehat hukumnya kesulitan untuk mendapatkan bukti sebagai bahan pembelaan. Begitu juga dengan alasan dikhawatirkan menghilangkan barang bukti menjadi alasan klasik tindakan penahanan. Mau tidak mau, penasehat hukum atau terdakwa harus menunggu fakta persidangan dalam upaya melakukan pembelaan.  Terlebih, tidak adanya saksi fakta yang melihat tindakan Jessica yang menjadikan dirinya terdakwa sehingga rekaman CCTV menjadi bukti penting.

Rekaman CCTV yang ditunjukkan JPU dalam persidangan yang kemudian disebarluaskan oleh beberapa stasiun televisi ini masuk keruang publik inilah yang dianalisa saksi ahli yang mungkin tidak dikenal oleh Roy Suryo. Logikanya, jika stasiun televisi tidak melakukan rekayasa gambar, mestinya gambar itu akan sama dengan yang dimiliki saksi JPU. Sehingga, apa yang dilakukan oleh Otto Hasibuan adalah menganalisa fakta persidangan yang disampaikan oleh JPU itu sendiri yang sudah masuk keruang publik.

Strategi pembelaan yang cerdik sekaligus mengungkap indikasi ketidak beresan dalam proses hukum yang menjadikan Jessica terdakwa yang sejak kasus ini mencuat kepermukaan banyak pihak yang meragukan kinerja pinyidik. Apa yang dilakukan oleh Otto adalah strategi pembelaan terhadap clientnya, begitu juga saksi ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum yang oleh JPU disebut memihak Jessica menjadi sebuah tontonan yang menyedot perhatian publik. Mediapun dimanfaatkan untuk melakukan penggiringan opini oleh kedua belah pihak sehingga yang terjadi adalah pertunjukkan adu prestise, adu gengsi, adu pintar yang jauh dari pengungkapan sebuah kebenaran.

Jessica sudah digambarkan seolah olah sebagai seorang psikopat berdarah dingin dengan indikasi-indikasi yang dibuat oleh saksi ahli, namun belakangan saksi ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum mengungkap bahwa kematian Mirna bukan karena Cyanida. Begitu banyaknya counter atas bukti dan argumentasi yang disampaikan oleh pihak penasehat hukum, namun yang paling menarik adalah dugaan rekayasa gambar atau tampering yang dilakukan oleh JPU. Jika benar indikasi tersebut, maka peristiwa ini makin memperkuat sinyalemen KPK yang harus melakukan tanggkap tangan atau operasi intelejen untuk mendapatkan bukti penyalah gunaan kewenangan dalam implementasi penegakan hukum dengan melakukan rekayasa hukum.

Apa yang dihadapi oleh JPU maupun majelis hakim dalam kasus pengungkapan kematian Mirna sudah menjadi sorotan publik yang dapat mengikis kepercayaan publik apabila majelis hakim mengambil keputusan yang tidak tepat. Namun kembali kepada kewenangan sebagai kekuasaan sebagaimana yang disampaikan oleh majelis hakim bahwa hakim bisa menyimpulkan. Benar sekali hakim bisa menyimpulkan karena memiliki kewenangan namun apakah kesimpulan tersebut berdasarkan keadilan atau kepentingan, itulah yang masih menjadi permasalahan penegakan hukum dewasa ini.

Bak dalang yang mengatur lakon peradilan, Otto Hasibuan memberikan sebuah tontonan sebagai sebuah pembelajaran bahwa saksi dituntut tanggung jawab yang besar apalagi menyangkut bidang keilmuan yang bisa saja "dilacurkan". Sebab, semua akan kembali kepada mental, apakah bisa bersikap jujur demi sebuah kebenaran. 

Senyuman Otto Hasibuan bisa bermakna, tontonlah peradilan kita seperti itu yang  membawa publik ikut menilai sebuah proses peradilan melalui pertunjukan drama persidangan yang panjang dan melelahkan yang diselingi dengan intrik para pihak yang ikut dalam perkara maupun para penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun