"Saya minta Kapolri untuk mengusut penyebar sms fitnah terhadap Presiden SBY.Waktu satu minggu saya kira cukup bagi kapolri untuk menangkap dan memproses secara hukum penyebar fitnah ini,"ujar Marzuki Ali kepada wartawan di Jakarta, Senin (30/5/2011). Petikan berita dari media online Inilah.com ini cukup menarik untuk disimak sebab bisa mempunyai makna ganda. Pertama, Marzuki Ali dalam kapsitasnya sebagai pejabat negara yang mengingatkan Kapolri untuk mengusut penyebar fitnah Presiden RI. Kedua, himbauan itu keluar karena Marzuki Ali sebagai kader partai demokrat meminta Kapolri untuk mengusut penyebar fitnah pembina partainya.  Masyarakat pembaca berita yang beropisisi terhadap kepemimpinan SBY kemungkinan akan memaknai seperti yang kedua itu. Sebab, sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Gendeng Pamungkas yang memakai huruf SBY pada pelat nomor polisi mobilnya, hal itu langsung membuat elit partai ini merasa gerah.
Sebetulnya, jika Marzuki Ali bersikap netral sebagai ketua DPR yang harus mampu berdiri diatas semua kepentingan maka ucapan atau himbauan itu tak harus dia keluarkan. Sebab, tidak perlu ada himbauan apalagi memberikan tenggat waktu seperti itu karena sudah menjadi tugas Polri untuk mengusutnya. Disini terlihat bahwa wakil rakyat masih terkotak kotak sehingga fungsi DPR yang seharusnya menjadi wakil rakyat pada prakteknya menjadi wakil partai politik dan rakyat hanya dimanfaatkan sebagai bantalannya. Situasi seperti ini sangat wajar terjadi sebab dalam kenyataannya dengan system pemilihan anggota legislatif telah terjadi penyimpangan oleh karena berkembangnya money politics. Ongkos politik yang mahal menyebabkan sifat individualisme dikalangan wakil rakyat sangat menonjol karena keberhasilan hingga menduduki kursi wakil rakyat adalah berkat kemampuan individu secara materi. Hujan interupsi hingga mengarah adu jotos dalam sidang DPR adalah sebuah hasil dari seleksi yang membuat para pesaing menggunakan berbagai cara termasuk cara kotor seperti money politik itu. Jika ada yang tidur dalam sidang atau sempat2 nya menonton film mesum adalah sebuah bukti dari disorientasi yang berangkat dari tujuan menjadi anggota DPR adalah untuk kemulyaan, bukan untuk pengabdian.
Bukan rahasia lagi, jabatan apapun membutuhkan imbalan sehingga transaksi jabatan menjadi hal yang biasa. Sebetulnya para pejabat inilah yang paling rentan menjadi pecandu narkoba sebab umumnya transaksi jabatan sudah umum berakhir ditempat hiburan yang merupakan pusat peredaran narkoba. Beberapa waktu yang lalu, DPR memasukkan larangan mengunjungi tempat hiburan malam dalam tatib yang menuai kontroversi sebab memang sudah ada larangan bagi pejabat negara untuk memasuki dunia hiburan malam yang berbau maksiat. Tak usah mencari peraturannya, peraturan tersebut adalah peraturan manusia beragama yang dalam ajaran agama telah ditanamkan sejak dini. Namun, apakah peraturan bersama yang ditandatangani Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), yang mengatur setiap pecandu yang kedapatan membawa kurang dari 1 gram narkotika akan dibebaskan karena sudah begitu banyak pejabat negara sudah menjadi pencandu narkoba ?. Jika memang demikian hal ini sudah sangat memprihatinkan sebab korupsi akan sulit dihapuskan. Mengapa ?. Logikanya sederhana saja, seorang pria yang suka memasuki tempat hiburan malam sudah pasti telah melakukan kebohongan terhadap anak istrinya maka sangat mungkin dia juga akan membohongi rakyat.  Lalu apa hubungannya dengan sms fitnah terhadap SBY tersebut ?. Jelas sangat erat hubungannya sebab hal itu terjadi karena ada yang kecewa dengan kepimpinan SBY.
Apa yang disampaikan oleh Marzuki Ali diatas, tentu akan membingungkan bagi mereka yang netral atau sebut saja golongan putih sebab hal ini mencerminkan kemarahan, ketersinggungan dirinya. Mengapa harus marah atau tersinggung sementara negara kita dikenal sebagai negara korup. Alangkah bijaknya sebagai pimpinan wakil rakyat beliau menyikapi fitnah tersebut sebagai dorongan untuk intropeksi, sudahkah DPR melakukan fungsinya dalam pengawasan terhadap jalannya pemerintahan menuju pemerintahan yang bersih ?. Masih banyak bangsa ini yang kecewa, maraknya unjuk rasa, pernyataan tokoh lintas agama, maraknya paket bom adalah reaksi masyarakat yang kecewa namun dengan cara penyampaian yang berbeda satu sama lain. Apapun isi SMS fitanh terhadap pimpinan negara tersebut adalah kasus lain, namun reaksi Marzuki Ali sebagai pimpinan DPR menjadi membingungkan, berpijak pada kepentingan rakyat atau kepentingan partai ?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H