Menjelang debat final Paslon Cagub/Cawagub DKI malam ini, agaknya yang menjadi fokus debat sebelumnya lebih fokus bagaimana membujuk pemilih DKI dengan program iming2 yang menyenangkan. Padahal, problem kota-kota besar umumnya menyangkut pertambahan penduduk kota yang disebabkan arus urbanisasi.
Beberapa waktu silam mencuat  berita tentang gelandangan dan pengemis yang memiliki uang berlimpah dan memiliki rumah yang sangat layak didaerahnya dan beberapa hari yang lalu ditemukan jenazah pemulung dengan uang puluhan juta didalam tas punggungnya.
Jakarta adalah pusat ekonomi Indonesia, sekitar 80 % peredaran uang nasional ada di Jakarta. Jakarta menjadi tempat mencari uang yang relatif lebih mudah oleh karena ketimpangan geliat ekonomi dengan daerah sekitarnya.
Terkendalanya penyerapan anggaran pemerintah oleh karena berbagai faktor menimbulkan hambatan pada geliat ekonomi daerah2 yang masih mengandalkan APBN sebagai penggerak ekonomi yang menyumbang  meningkatnya urbanisasi daerah wilayah minus ke Jakarta.
Tak kurang Presiden Jokowi pernah mengumpulkan para Kajati dan Kapolda karena kekhawatiran kepala daerah dikriminalisasi karena kebijakannya yang dinilai menghambat penyerapan anggaran.
Anggaran pemerintah ibarat kue tak bertuan yang memabukan para kepala daerah, tak sedikit kepala daerah yang tersangkut masalah hukum karena tindakan korupsi. Namun sebaliknya, Banyak pula aparat hukum yang terjaring OTT KPK karena kasus suap pengaturan perkara. Dan  bahkan garda konstitusi negara kita  juga tak luput dari praktik suap penyalah gunaan jabatan.
Jakarta menjadi istimewa karena jumlah penduduknya yang padat sehingga konsentrasi pembangunan juga ada di Jakarta. Sebaliknya daerah kaya sumber alam sepi pembangunan karena kepadatan penduduknya yang jarang. Ketimpangan pembangunan karena pendekatan pembangunan mendasari kepadatan jumlah penduduk, ekonomipun terjadi ketimpangan yang menyebabkan banyak daerah yang tertinggal pembangunanya.
Pembangunan adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tak pelak lagi DKI Jakarta yang memiliki kepadatan tertinggi di Indobesia menjadi pusat pembangunan dan menjadikan Jakarata sebagai pusat ekonomi. Mampu meraih kekdudukan di DKI akan menjadi cerminan kekuatan politik di Indonesia.
Ahok yang mendapatkan kedudukan sebagai warisan Jokowi sejak awal memang sering berpolemik terutama dengan DPRD DKI ini, terlebih melakukan pencitraan keberhasilan dengan menjatuhkan pendahulunya. Â Methode pencitraan baik dilakukan melalui media maupun media sosial ini menggunakan methode yang sama dengan Jokowi. Tak pelak lagi, citra dimata publik antara Ahok dan Jokowi menjadi sama.
Jika kita lihat perolehan suara pilpres 2014  dengan selisih yang tipis, terlebih disebutkan terjadi kecurangan, walaupun MK tetap mengesahkan hasil yang ditengarai  adanya dugaan kecurangan, namun  rasa tidak puas tidak hilang begitu saja.  Walaupun tidak dapat digeneralisir, nyatanya MK yang memberikan keputusan "kemenangan:" Jokowi  tidak lepas dari budaya praktik suap  yang ditengarai oleh OTT KPK terhadap Ketua MK Akil Mochtar atau Pratrialis Akbar yang belum lama terjadi.
"Bertapanya" Prabowo tak lantas friksi antara yang pro dan kontra tak serta merta selesai, publik sudah terlanjur terbelah dan  ketika Rizieq tampil menentang Ahok, pihak yang kontra seperti mendapat tokoh baru. Tokoh yang menjadi "symbol" penentang ini mendapat celah mainan politik, Jangan memilih pemimpin Kafir yang mendapat reaksi keras dari yang pro.