Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Macet Parah di Brebes, Kegagalan Pemerintahkah?

9 Juli 2016   21:13 Diperbarui: 10 Juli 2016   11:40 1429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelumnya, jalan itu dua arus, ternyata dirubah, karena saya tidak mengetahui perubahan, jadilah saya melawan arus dan dihentikan oleh polantas yang menggunakan mobil patroli. Saya tunjukkan surat2 kendaraan, mungkin karena nama yang tertera pada SIM dan STNK sama, pak polisi bertanya, bapak ini siapa dan mau kemana ?  Spontan saya menjawab  nama saya ada di SIM, hendak ke Mapolres. Pak Polisi menjelaskan bahwa sekarang arus lalu lintas sudah berubah dan bertanya apa saya melihat tanda larangan. Saya menggeleng, memang tidak melihat kalau sudah ada tanda larangan. Ternyata Pak Polisi hanya mengingatkan tidak menilang. Lain waktu, anak saya dihentikan Pak Polantas, dia menelpon saya, minta saya bicara dengan Polisi yang menilangnya, kalau salah harus ditilang, kata saya. Sampai dirumah anak saya tertawa geli, minta ditilang malah disuruh lanjut, mungkin dikira anak siapa.

Cerita soal menggunakan kendaraan yang mengundang senyum bukan saja berhadapan dengan polantas, namun juga ditempat lain. Ketika saya mencuci mobil, ada saja yang bertanya, pak garasinya dimana, pak mobil kantor atau pribadi. Bahkan waktu mengisi bahan bakarpun ditanyakan perlu bon atau tidak ? Mudah ditebak mengapa muncul pertanyaan seperti itu, mungkin saya dikira sopir ! Sebab, masyarakat masih melihat mobil menjadi lambang status sosial, merk mobil yang saya pakai memang hanya orang orang tertentu yang menggunakannya, mungkin didaerah saya, masyarakat taunya mobil merk seperti itu biasa digunakan oleh presiden kalau berkunjung, melihat penampilan saya, dikira sopir. Padahal mobil seperti yang saya kendarai itu juga digunakan sebagai armada taxi eksklusif di Jakarta atau mobil rental pengantin.

Lebaran menjadi arena pamer keberhasilan, keberhasilan itu direprentasikan oleh mobil yang digunakan pulang kampung, tidak heran, mobil berplat merahpun disulap menjadi plat pribadi. Alhasil, masyarakat berbondong-bondong menggunakan mobil pulang kampung secara serentak yang menimbulkan kemacetan dimana-mana yang biasanya hanya terjadi di kota-kota besar. Budaya yang terbentuk seperti ini tidak mungkin dapat diatasi oleh siapapun presidennya dan kemacetan ini juga menjadi komoditas politik yang menimbulkan citra negatif terhadap pembangunan. Anggota kabinet yang seharusnya sudah mengantisipasi budaya "pamer" ini terbawa dalam polemik dan saling mencari kambing hitam yang justru makin meramaikan celoteh politik.

Dalam budaya dimana mobil sudah dijadikan simbol, anak kuliahpun bangga membawa mobil ke kampus yang makin mengentalkan budaya pamer. Masih lebarnya kesenjangan sosial, angkutan massal hanya diminati oleh golongan yang memang sangat membutuhkan karena faktor ekonomi. Pulang kampung memakai angkutan umum, apa yang dibanggakan ? Mungkin pandangan itu begitu melekat oleh karena penggunaan kendaraan umum lebih karena terpaksa mengingat faktor ekonomi. Jargon politikpun tak lepas dari keadaan tersebut maka kampanyepun berkumandang pemerintah akan menyediakan anggkutan massal dan murah.  Namun, apakah budaya "pamer" dan "gengsi" dapat serta merta diubah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sewaktu mudik ? Rasanya sangat sulit dan kemungkinan bermacet ria akan terus terjadi sewaktu mudik sebab, kejadian tersebut sifatnya insidentil dalam waktu yang bersamaan. 

Sebagai sebuah gambaran, dalam perencanaan pembangunan selalu didahului dengan feasibility study, pembangunan adalah investasi yang harus dapat dikembalikan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesinambungan pembangunan mengikuti kebutuhan masyarakat.  Demikian juga dengan pembangunan jalan , apakah layak atau tidak untuk dibangun. 

Dimulai dengan survey lapangan dengan menghitung jumlah kendaraan yang lewat, kecepatan rata-rata pada waktu peak season atau beban puncak, misalnya jam berangkat atau pulang kerja menjadi indikasi perlu tidaknya jalan ditingkatkan. Mudik lebaran adalah extra ordinary yang tidak termasuk dalam variable perhitungan karena sifatnya insidentil walaupun terjadi setiap tahun pada waktu lebaran. Kita ibaratkan, tidak realistis untuk mengadakan pesta perkawinan kita beli gedungnya, analoginya kira2 seperti itu dalam perhitungan perencanaan pembangunan.

Ketika saya melintas Tol Cipali menjelang  Ramadhan, kecepatan rata2 bisa saya pacu 140 mil per jam, artinya jalan tol itu cukup lengang dan masih aman untuk kecepatan seperti itu mengingat jarak antara satu mobil dengan lainnya cukup jauh. Muara jalan tol tersebut di lintas pantura di pejagaan yang masuk wilayah Brebes. Sedangkan di lintas Pantura, kecepatan yang bisa saya pacu rata-rata 70 mil per jam, kecepatan seperti itu sudah seperti kesetanan bersaing dengan travel yang memang mengejar waktu.

Sehingga pada jalur lintas pantura,  kemacetan itu dipecah pada banyak titik yang menjadi resisten seperti pasar tumpah, sedangkan tol adalah bebas hambatan. Ketika dua arus bertemu disatu titik, maka terjadi penumpukan yang menyebabkan kendaraan tak dapat bergerak. Kemacetan yang lebih disebabkan pengaturan lalu lintas tersebut menjadi bahan berita yang dibumbui adanya pemudik yang meninggal dunia. Publik bahkan media luar melahap begitu saja menjadi kematian disebabkan kemacetan yang parah.

Polemikpun berkembang, tak urung menteri Jonan angkat bicara yang menyalahkan menteri lainnya. Demikian juga dengan sauara publik yang menyalahkan pemudik. Ditambah lagi dengan masih adanya sisa-sisa dendam pilpres yang menganggap pilpres curang, meninggalnya ketua KPU pun dijadikan bahan celoteh politik yang menjadikan polemik keluar dari konteknya menjurus ketidak patutan. Prilaku seperti inilah yang menjadi tontonan dunia, begitu mudahnya publik tergiring oleh opini yang dikembangkan media, begitu mudahnya publik terbujuk oleh janji namun begitu mudahnya publik memberikan justifikasi. 

Budaya gengsi yang menjadikan mobil sebagai simbol kesuksesan adalah ciri masyarakat yang sensitif perasaannya, bodoh dan salah menjadi kata yang menjatuhkan gengsi. Seorang menteripun merasa gengsi untuk mengakui kesalahannya, melempar kesalahan kepada menteri lainnya. Jika kesalahannya tidak bisa dilempar, jawaban mumpuni adalah tidak tau. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun