Belum lagi terkuak misteri Rapat Raperda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil serta Kawasan Strategis Pantau Utara Jakarta yang hanya dihadiri oleh eksektif di Kantor Bappeda DKI yang menghasilkan kesepakatan 11 pasal dari 13 pasal, KPK melakukan OTT lagi. Kali ini OTT menyasar Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar dan Bupati Subang yang menuai protes Jaksa Agung Muda Pengawasan karena dinilai melanggar UU no 16 tahun 2004.
Kalau didalam OTT DPRD DKI dan Dirut PT. Agung Podomoro  Land, masalah kewenangan Ahok menerbitkan SK Izin Reklamasi  menjadi polemik publik, sedangkan terkait OTT terhadap Kajati, Jamwas mempertanyakan kewenangan KPK menangkap Kajati karena menurutnya sesuai pasal 8 ayat 5 UU no 16 tahun 2004 , pemanggilan, penggeledahan serta penangkapan harus  seizin Jaksa Agung.
Keberatan Jamwas tersebut adalah sebagai gambaran ketidak pastian hukum yang ditunjukkan oleh aparatur penegak hukum sendiri. Hukum dan peraturan dibuat untuk disiati yang memberikan peluang transaksi transaksi jabatan yang sudah membudaya mulai dari jalan umum.
Sebaliknya dengan alasan peraturan dan undang-undang juga digunakan kepada rakyat untuk memaksa rakyat meninggalkan pekerjaan dan huniannya seperti pada penggusuran paksa masyarakat Luar Batang dan Pasar Ikan yang di back up oleh TNI. Namun disisi lain terkuak bahwa keterlibatan TNI tersebut diberikan imbalan sejumlah uang oleh Pemprov DKI yang tak lain sebagai gambaran transaksi jabatan itu menjadi legal dan berubah menjadi tugas negara.
Inilah hukum kekuasaan yang digunakan sebagai alat pemaksa dan melegalkan sebuah tindakan agar rakyat dipaksa patuh namun sebaliknya aparatur negara berusaha tidak patuh dengan tafsiran aturan sebaliknya sebagaimana keberatan yang disampaikan oleh Jamwas. Â Tafsiran undang undang yang lebih pada kepentingan pada pembelaan diri ini seolah menjadikan KPK sebagai lembaga super body yang perlu dibatasi kewenanganya seperti adanya upaya mengamputasi kewenangan KPK belum lama berselang.
Takut masuk neraka yang ditanamkan sejak kecil ini menjadi watak yang mendarah daging dan menjadi budaya mencari celah pembelaan diri yang sayangnya diumbar ke publik yang menumbuhkan rasa ketidak adilan. Budaya menang2an ini sudah berkembang mulai dari sekolah jenjang pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi dengan diwarnai maraknya tawuran. Tawuran tidak hanya monopoli pelajar juga terjadi ditengah masyarakat, antar kelompok, antar etnis, antar kampung bahkan antar aparat keamanan negara sendiri.
Sikap frustasi masyarakat boleh jadi dilampiaskan dengan melakukan main hakim sendiri terhadap pencuri kecil, copet, maling motor, pasangan mesum tetapi terhadap koruptor, karena kepandaiannya mendapat kedudukan sosial yang cukup baik ditengah masyarakat. OTT KPK yang mencokok Kajati dan Bupati adalah sebuah fakta, harkat dan martabat didalam tatanan sosial masyarakat akan tergantung dari kedudukannya yang berbeda kelas dengan maling sandal, maling ayam, maling motor, copet yang sering terkena semacam OTT oleh masyarakat dan langsung dihakimi.
Indonesia is free country, begitu istilah yang disebutkan oleh seorang ekspatriat sebagai partner kerja sambil tersenyum yang merupakan sebuah sindiran akan kebebasan yang kebablasan melihat prilaku berlalu lintas. Ketika seseorang hendak menyeberang, pengendara menghidupkan lampu dim dan tancap gas adalah sebuah gambaran sikap menang2an. Dari prilaku tersebut tercermin budaya pamrih dan tidak ada kerelaan, jangankan kerelaan untuk memberikan materi, memberikan kesempatan orang menyeberang saja tidak rela. Gambaran sosial masyarakat semacam itu juga menjadi gambaran prilaku aparatur negara, kalau dapat dipersulit dan menghasilkan mengapa tidak dipersulit, begitu yang ditemui didalam pelayanan publik.
KPK yang keberadaanya didalam budaya seperti ini tentunya banyak menemui tantantangan apalagi berhadapan dengan sesama penegak hukum dan bukan hanya sekali KPK harus menghadapi intimidasi dengan menggunakan kewenangan hukum yang dimiliki oleh aparat penegak hukum lainnya.
Dalam situasi seperti ini, dukungan publik memang sangat dibutuhkan oleh KPK layaknya sebuah lembaga politik yang bersikap oposan terhadap kekuasaan. Tak dapat dipungkri akhirnya juga keberadaan KPK menjadi tumpangan yang menghendaki Ahok ditangkap yang dalam arti kata dicopot dari jabatannya. Sebaliknya dalam era pemilihan langsung publik yang sudah terbelah karena dukungan pada tokoh, keberadaan KPK juga dinilai sebagai penggerogot kekuasaan yang melahirkan upaya pengebirian kewenangannya. Publikpun bereaksi menentang upaya tersebut yang berakhir dengan penghentian upaya pemangkasan kewenangan KPK.
Ditangkapnya seorang Bupati yang nota bene hasil dari pemilihan langsung boleh disebut sebagai kegagalan berdemokrasi, hasil pilihan rakyat tersebut menjadi target OTT KPK. Sebuah pesta demokrasi yang gagal oleh karena prilaku suap atau korupsi seharusnya menjadi sebuah pelajaran mengapa budaya semacam itu berkembang pada semua lini terlihat dari banyaknya kepala daerah dan wakil rakyat yang tersangkut masalah hukum. Lebih ironis lagi kalau aparatur hukum ikut tercebur dalam budaya yang sama.