Ditegah aksi bela Islam yang pastinya tidak menguntungkan Ahok, sebut saja sebagai "kampanye hitam", jangan memilih pemimpin non muslim agaknya berbeda dengan media yang tetap menjagokan Ahok.
Biarlah anjing menggonggong, Ahok tetap masih yang terbaik, begitulah suara media. Namun apakah itu suara media yang didalamnya adalah manusia pekerja dan orientasi bisnis bisa saja demikian, tak ada uang abang kutendang dan mediapun menjagokan yang memiliki uang uang untuk promosi.
Tak jauh berbeda dengan Paslon no 3, seperti diberitakan, Tim Pemenangan pasangan calon Gubernur dan Wagub DKI, Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno, mengapresiasi atas dukungan yang diberikan Relawan Jokowi Cinta Persatuan Indonesia..
Menurut mantan ketua DPD PDI-P DKI itu, sejumlah elemen pro Jokowi yang mendukung Anies-Sandiaga merupakan pilihan yang tepat. "Semua kembali ke 'jalan yang benar'," ucapnya berseloroh. -
Sejumlah fungsionaris Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jakarta Selatan juga mendeklarasikan mendukung Pasangan Calon nomor urut 3. Acara deklarasi dilakukan Kamis (8/2/2017) malam di Resto Raden Bahari, Buncit, Jakarta Selatan padahal PKB adalah koalisi yang mengusung Paslon no 1 AHY dan Sylvi.
Tak ada yang loyal dalam politik, parpol hanyalah kendaraan politik karena peraturan yang berlaku sehingga terjadi hal semacam diatas, tak perlu loyal karena itulah demokrasi. Fenomena deklarasi dukungan semacam itu sudah menjadi hal yang lumrah namun dari segi pencitraan dukungan memang diperlukan untuk mendulang simpati.
Seperti yang diucapkan oleh mantan ketua DPD PDIP, PDIP sebagai pengusung Ahok " kembali ke jalan yang benar " atau bertobat, walaupun hal itu sebagai ungkapan berseloroh namun dibalik itu mencerminkan rapuhnya loyalitas kader partai yang sesungguhnya dapat ditengarai adanya politikus kutu loncat.Â
Menyangkut loyalitas, koalisi Gerindra dan PKS terlihat paling simple dan paling solid sedangkan SBY dengan Partai Demokratnya lebih bergaya one man show yang ditunjukkan dengan pasangan AHY yang berlatar belakng birokrat, sama halnya ketika SBY menunjuk Boediono yang akademisi menjadi wakilnya yang membuat PKS murka.
Bisa saja sikap DPD PKB Jakarta Selatan tersebut dilatar belakangi tidak diakomodirnya calon dari partai ini, partai ini hanya menjadi kelengkapan persyaratan untuk memenuhi ambang batas pencalonan AHY, putra SBY.
Pilihan SBY menunjuk Sylviana sebagai pasangan AHY tentunya memiliki pertimbangan yang mungkin tidak dipahami. Adalah para birokrat yang selama ini seperti tersisihkan dari percaturan politik dalam persaingan kedudukan karena peraturan yang berlaku dimana harus mundur dari statusnya sebagai PNS, penunjukan Sylvia Murni kemungkinan untuk meraih simpati keluarga PNS.
AHY yang mundur dari dinas kemiliteran dan Sylviana Murni yang mundur sebagai PNS, kans memperoleh suara dukungan dari keluarga militer dan PNS menjadi lebih besar dari kedua paslon pesaingnya. Sehingga, hampir tidak terjadi pemberitaan deklarasi dudungan sebagaimana kedua paslon lainnya dengan perhitungan basis suara yang jelas. TNI dan PNS memang harus netral, namun keluarganya memiliki kebebasan sebagaimana warga negara lainnya.