Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Tanah Cengkareng, Hilang Tanpa Jejak ?

21 Juli 2016   01:08 Diperbarui: 21 Juli 2016   03:40 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau semua merasa tidak tau dan tidak melihat, maka perbuatan itu sangat mungkin dilakukan oleh bangsa Jin yang memang tidak kasat mata. Maka semua tidak ada yang bersalah, kesalahan itu dilakukan oleh bangsa Jin. Hukum tidak menjangkau perbuatan Jin sehingga, walaupun tindakan itu sangat merugikan maka kasus ditutup.

Seperti itulah yang saya temui berhadapan dengan BPN yang merupakan institusi negara yang memiliki kewenangan menetapkan hak kepemilikan tanah dan menjadi sebuah proses yang panjang untuk meluruskan karena institusi hukum bertindak sebagai pelindung memanfaatkan celah kewenangan yang "biasa" digunakan oleh para penegak hukum nakal.

Hukum menindak hukum, ibarat jeruk makan jeruk yang tidak mungkin terjadi. Ketika saya mengetahui tanah milik  salah satu perseroan saya, sebanyak 40 persil sudah berpindah kepemilikan. Ketika dugaan praktik "mafia" itu saya ungkap kepermukaan,  kepolisian, jaksa, hakim melakukan sebuah perlindungan menggunakan celah kewenangan pendapatnya melakukan perlindungan terhadap keputusan BPN tersebut. Caranya, hukum menyatakan saya telah menjual perseroan dengan dokumen dan kesaksian palsu yang merupakan  pertimbangan hukum yang dimiliki oleh para penguasa itu untuk membidik siapapun ( dalam hal ini adalah pengacara saya ) yang langsung mengaku bersalah, sudah P21 namun tidak pernah diadili.

Saya tidak berbuat apapun, melalui pengacara yang lain membujuk saya untuk menjadi saksi, dengan niat baik untuk meluruskan memberikan kesaksian, namun berikutnya katanya BAP diulang, ternyata di split, saya yang diadili berdasarkan pengakuan pengacara saya sendiri.  Tipu menipu, akal mengakali dalam hukum seperti ini sulit dilawan maka saya ikuti saja kemana arahnya. Setelah putusan keluar, dari pertimbangan dan kesaksian yang ada dalam putusan menjadi senjata ampuh untuk membalik keadaan.

Kesaksian dan statement dalam putusan adalah bukti yang valid, satu persatu saya gugat, bukan mencari kemenangan tetapi menjalankan politik adu domba diantara mereka. Bergerilya, begitu saya sebut apa yang saya lakukan, bukan kemenangan yang saya cari karena hukum sudah bengkok, namun membuat pelapor menjadi ATM terus menerus sepanjang hidupnya. Setelah harta bendanya habis, akhirnya dia berteriak, sudah habis Rp. 12 milyar katanya kepada seseorang yang disampaikan kepada saya. Sayapun diundang oleh BPN agar berdamai. Pemalsuan tidak bisa terhapus oleh perdamaian dengan saya, saya bukan presiden yang memiliki kewenangan memberikan grasi, begitu ujar saya yang membubarkan upaya BPN.

Inilah hukum kita, kalau ketahuan bengkok diminta damai, tidak akan diproses. Terakhir baru menyadari, apa yang saya lakukan adalah mengikuti arus dunia hukum yang kental dengan KKN, saya jeburkan sekalian dalam budaya seperti itu. Pedoman saya adalah pertimbangan hakim yang menyatakan saya sudah menjual perseroan (  berdasar dokumen dan kesaksian palsu ), PK sendiri saja, siapa yang mencari gara-gara, begitu alasan saya atas saran untuk melakukan upaya PK dan entah sampai kapan pelaku akan menjadi ATM banyak pihak.

Apa yang saya ceritakan diatas adalah sebuah contoh konkrit prilaku oknum BPN dan para penegak hukum yang membuat persoalan menjadi gelap bukan seharusnya menjadi terang untuk menutupi perbuatan melawan hukum. Indikasi yang terjadi pada pembebasan tanah di Cengkareng oleh pemprov DKI lebih kurang sama dengan memanfaatkan celah yang biasa digunakan oleh para "mafia" hukum untuk menguasai asset. 

Pertama mengenai upaya hukum pemprov DKI terhadap PT. Sabar Ganda, targetnya adalah mengosongkan lahan sedangkan kepemilikan hanya digunakan sebagai bukti pertimbangan hakim untuk "mengusir" PT. Sabar Ganda. Kedua, BPN sudah menerbitkan sertifikat atas nama Toeti Soekarno. Indikasinya, hukum melindungi nama Toeti Soekarno dengan cara "menutupi" kepemilikan tanah ke publik untuk mengusir PT. Sabar Ganda.

Dari dua indikasi tersebut sangat jelas korelasinya antara kepentingan pemprov DKI dan kepentingan BPN yang pada akhirnya mencuat kepermukaan oleh temuan BPK. BPK langsung menunjuk batang hidung BPN sebagai sumber permasalahan, namun apakah BPN dapat dipersalahakan ?

Cerita masih panjang, harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahan BPN melalui sebuah proses hukum. Namun upaya itu akan terbentur oleh proses hukum yang sudah ditempuh oleh DKI yang dimenangkannya bukan terhadap Toeti Soekarno melainkan kepada PT. Sabar Ganda. Kemenangan dalam proses hukum itu justru menunjukkan sebuah kejanggalan karena dipastikan tidak menghadirkan kesaksian BPN. Inilah yang  saya sebut sebuah permainan para Jin yang tidak diketahui oleh siapapun sehingga mencuat dalam pemberitaan semua tidak tau.

Hakim, penyidik, Jaksa adalah satu kesatuan dalam sebuah proses pidana sedangkan kepemilikan adalah masalah keperdataan yang menjadi kewenangan hakim dalam memutuskan. Jika terjadi indikasi pemalsuan dokumen dalam penerbitan sertifikat, adalah kewenagan kepolisian untuk mengawali langkah proses hukum. Namun terhadap kemengan upaya hukum pemprov DKI, pertimbangan hakim mungkin sudah menyatakan tanah itu milik pemprov DKI, tidak mungkin terjadi kemungkinan pemalsuan kalau tanah itu milik pemprov DKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun