Tahun ini saya tidak ke mana-mana lantaran sopir pulang kampung. Dia memberi tahu terjebak macet di Brebes, dua hari setelah Lebaran saya hubungi dia, katanya masih di Brebes. "Berarti kamu sudah 5 hari terjebak macet?" tanya saya prihatin. "Tidak Pak, kampung saya memang di Brebes." Joke macet seperti ini juga mengiringi pemberitaan dan dibumbui berbagai opini kemacetan di Brebes yang mendunia. Padahal mudik sudah menjadi tradisi masyarakat yang seharusnya sudah diantisipasi oleh pemudik maupun pemerintah.
Sapa suruh datang ke Jakarta adalah lirik lagu yang tidak asing di telinga kita menggambarkan betapa keras persaingan hidup di Jakarta. Namun di balik itu, Jakarta adalah pusat perekonomian dan perputaran uang hampir mencapai 80 % secara nasional yang menjadi pendorong terjadinya urbanisasi. Banyak kaum urban yang mencari nafkah di Jakarta yang masih memiliki ikatan kuat dengan tanah leluhurnya. Mudik bukan saja dalam rangka silaturahmi dengan handai taulan dan sanak sauadara sekaligus sebagai ajang pamer keberhasilan yang menarik lebih banyak lagi kaum urban datang ke Jakarta.
Di samping itu, seperti teman-teman kuliah saya di Jakarta yang banyak berasal dari daerah, umumnya mereka tidak pulang kampung, bekerja dan menetap di Jakarta. Faktor utama adalah peluang kerja di mana di daerah tak semudah di Jakarta untuk mencari pekerjaan. Seperti halnya saya, selesai kuliah bekerja di lembaga internasional yang memang pusatnya kegiatan di Indonesia ada di Jakarta. Selesai pendidikan, lingkup kerja di seluruh Indonesia dan berkaitan dengan lintas sektoral dalam koordinasinya.
Bertahun-tahun bekerja secara team dengan para ekspatriat dari mancanegara, dari pengalaman tersebut saya peroleh gambaran bahwa negara-negara maju yang memberi pinjaman kepada Indonesia tujuannya juga memberi lapangan kerja bagi rakyatnya. Cuma yang saya sangat sedih adanya kasta dimana rate bangsa kita dihargai jauh lebih rendah dari Filipina. Karena perbedaan rate ini, tak ubahnya kita menjadi kacung di negara sendiri.
Pada waktu terjadi krisis moneter, perencanaan pembangunan yang sedang saya kerjakan dihentikan dan diambil alih oleh IMF. Keuangan negara ini otomatis di bawah kekuasaan IMF. Dalam situasi demikian saya hengkang dari lembaga tempat saya bekerja lebih dari 10 tahun. Refreshing dulu, pikir saya, pergi daerah dengan menggunakan mobil sedan masuk areal perkebunan tebu. Menggunakan mobil semacam itu tentu saja menarik perhatian, namun keisengan muncul, masuk saja ke kantor nya, kebetulan bisa menemui bigboss-nya yang menetap di Jakarta kebetulan sedang berada di site.
Ngobrol tentang development agaknya menarik perhatian dia. Saya sebut kaum pekerja adalah masyarakat tebu, bekerja di kebun tebu, tinggal di kebun tebu, bersekolah di kebun tebu dengan puluhan ribu tenaga kerja. Mereka umumnya tinggal di perumahan yang disediakan perkebunan dan pada waktu krismon mereka mendapat berkah oleh hancurnya nilai rupiah, penghasilan corporate menjadi berlipat karena penjualan dalam US $. Spontanitas saya tawarkan kerja sama menyediakan perumahan untuk karyawan di ibu kota propinsi terutama yang dekat dengan perguruan tinggi. Gayung pun bersambut, proyek penyambung hidup saya dapatkan dari iseng-iseng tanpa modal pula.
Ketika peluang terbuka, dengan sendirinya modal itu datang. Saya hubungi bank yang langsung disetujui pembiayaan padahal pada waktu itu semua usaha properti sedang tiarap dan hampir 80 % omset cabang bank pembiaya berasal dari saya. Bank tersebut luput dari rasionalisasi karena tidak bergerak dalam perbankan devisa yang umumnya hancur oleh jatuhnya nilai rupiah.Â
Sebut saja saya dalam posisi terdepan, ada seorang perantara penjual tanah, agar pemilik tanah percaya, dia mencatut nama saya, mengaku sebagai utusan saya. Ternyata pemilik tanah tersebut perwira tinggi, mungkin ada kebutuhan mendesak, diapun mendatangi perantara tersebut. Mengetahui pemilik tanah perwira tinggi, si perantara kabur, mungkin takut. Datanglah perwira itu menemui saya, saya tidak menjatuhkan perantara tersebut, saya ajak ngobrol seperti teman saja. Obrolan menjadi akrab, kebetulan kediamannya satu komplek dengan mertua kakak saya, suasana makin akrab. Muaranya juga deal-deal an harga tanah, tapi saya katakan belum siap menyediakan jumlah itu, ada cuma Rp 50 juta. Uang itu menjadi tanda pertemanan sambil saya minta izin untuk didoser.Â
Ketika alat berat sudah bekerja, saya pasarkan, ada pemasukan uang yang kemudian saya serahkan kepada pemilik tanah, alhasil tanah tersebut dibayar oleh orang lain, tetapi legalnya sayalah pembelinya, masuk ke bank untuk jaminan modal kerja membangun perumahan. Cair kredit konsumen, tinggal berhitung, sisanya milik saya setelah dikurang biaya gaji, kontruksi dan lainnya. Sisa itulah penghasilan saya.
Namun di balik itu semua, jika saya bandingkan dengan perwira tinggi tadi, makin tinggi kedudukan sosial seorang mestinya menjadikan dia makin arif dan bijaksana. Ketika saya menghadapi pembeli, uang yang dia kumpulkan hanya untuk uang muka, namun sikap dan tindak tanduknya seperti raja. Sebagai penjual, tentu saya harus memaklumi dan tidak berhadapan langsung, pegawai sudah kebal dengan segala permintaan dan caci maki. Padahal, harga rumah tergantung spesifikasinya, harga bisa 100 juta, bisa semilyar.Â
Perilaku ingin diistimewakan juga terjadi di jalan raya. Seorang teman ekspatriat dari Amerika berseloroh, kalau di negaranya ketika ada orang hendak menyeberang, maka pengendara secara reflek akan injak rem. Sebaliknya, di Indonesia injak gas. Begitu juga dia tersenyum membaca rambu kecepatan di depan tangsi militer. Di negaranya, melewati tangsi militer harus cepat agar tak dicurigai sebagai teroris, sebaliknya di Indonesia harus pelan, harus sopan. Ketika melintas pagi hari, dia menyaksikan kerumunan di halte bus dia bertanya, apakah ada unjuk rasa?