Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kalau Begini, Untuk Apa Pemilu?

14 Januari 2010   14:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:28 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_54002" align="alignleft" width="250" caption="Jusuf Kalla"][/caption] Makin kentara saja, Pansus Angket DPR  bailout Bank Century lebih bernuansa politis ketimbang memikirkan kepentingan rakyat.  Katakanlah berhasil melengserkan pasangan SBY dan Boediono, apakah dana nasabah Bank Century yang terkatung2 dengan sendirinya akan dibayar..?. Begitu juga masalah korupsi, mungkinkah dapat langsung hilang dari bumi Indonesia..? JK yang merasa di fait accomppli dalam pengambilan keputusan bailout Bank Century, terlebih setelah kekalahannya dalam pemilihan presiden dan ditolaknya gugatan adanya pemilu ulang oleh MK karena menilai terjadi kecurangan pemilu, pastilah bukan pihak yang netral untuk membuka tabir dibalik bailout Bank Century. Tidak melapor, tidak sepengetahuan, itu melanggar, itulah antara lain yang terucap dari anggota pansus DPR yang jauh dari subtansinya dan sangat terlihat mencari kesalahan Boediono dan Sri Mulyani yang tidak dapat dinonaktifkan dengan himbauan. Pertarungan kekuasaan belum juga usai, pemilihan umum menjadi sia2, sia2 karena sudah mengeluarkan anggaran yang demikian besar tetapi hasilnya tidak diterima oleh lawan2 politik yang dikalahkan dalam persaingan. Pemilu hanya dianggap sebagai formalitas, jika menang mendapat legalitas, jika kalah masih berharap cara lain. Aturan tinggal menjadi aturan, semua dapat disiasati untuk mencari jalan menuju kekuasaan. Demokrasi rupanya diartikan demokrasi menyiasati aturan juga, tidak perlu memikirkan besarnya biaya yang telah dikeluarkan untuk biaya pemilihan umum. Sayang sekali, rakyat yang tadinya percaya bahwa pemilu adalah jalan yang paling realistis memilih pemimpinnya, ternyata para politikus hanya memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya. JK menjelaskan bahwa pemerintah masih mempunyai tanggungan Rp. 600 Triliun untuk penjaminan BLBI dengan beban bunga Rp. 80 triliun setiap tahun untuk mengatasi krisis perbankan tahun 1998 hingga saat ini harus tetap dibayar. Belum lagi beban hutang luar negeri peninggalan Orba yang juga menjadi tanggungan pemerintah berikutnya.  Senyum JK membuka kedoknya Partainya sendiri, krisis 1998 terjadi diyakini karena krisis global, tidak perlu diusik karena rakyat harus percaya, bukan tanggung jawab partainya. Dibandingkan dengan bunganya, Rp. 6,7 triliun bukanlah nilai yang besar. Tetapi nilai  Rp. 6,7 triliun itu menjadi besar karena tujuan dibaliknya adalah untuk kekuasaan. Menengok kebelakang, krisis perbankan tahun 1998, pemerintah telah mengambil alih saham perbankan nasional sebagai kompensasi pijaman likwiditas perbankan dimana pada akhirnya pemerintah melakukan divestasi saham tersebut yang antara lain kepada pihak asing. Tentunya pemerintah harus memberikan jaminan untuk memproteksi perbankan nasional walaupun harus mengorbankan berkembangnya sektor riel dengan kebijakan moneter yang antara lain memainkan suku bunga. Imbasnya, sektor industri manufaktur terpuruk dan makin terpuruk lagi setelah Indonesia ikut meratifikasi perjanjian perdagangan bebas.  Semakin berat lagi  uang hasil korupsi semasa orde baru tidak dapat masuk ke Indonesia karena terganjal UU money loundry yang menyebabkan banyak pengusaha Indonesia hengkang dari negeri ini, pindah basis usaha antara lain ke Singapura yang tidak mempunyai perjanjian extradisi. Jika hasil korupsi dari antara lain memark up harga barang dalam mendapatkan pinjaman luar negeri yang digaransi oleh perbankan pelat merah yang akhirnya bangkrut, paling tidak para koruptor tersebut dapat membuka usaha di Indonesia untuk memberi lapangan kerja. Jika kita memahami permainan politik dunia dan "kepolosan" pemerintahan orde baru dalam perang ekonomi dunia, negeri ini kalah total dalam peperangan tersebut karena memanfaatkan mental korup bengsa ini. Takluk dalam peperangan tersebut, Pak Harto teken LOI sebagai pernyataan menyerah, tunduk pada keinginan IMF dan inilah warisan problem yang harus diatasi presiden berikutnya. Siapapun presidennya, permasalah tidak akan berubah, ganti presiden akan menghadapi masalah yang seperti dihadapi SBY juga yaitu mental korup bangsanya sendiri. Sekarang yang berteriak adalah golongan abu2, ganti presiden ganti lagi yang berteriak, tidak akan pernah berhenti karena mental korup itu sudah mendarah daging, sudah menjadi budaya. Budaya itu mungkin saja akan berubah dalam jangka waktu panjang, paling tidak dalam satu generasi bangsa atau 50 tahun setelah terjadi kemakmuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun