Untuk dapat membongkar bobroknya peradilan,mau tidak mau saya harus terjun langsung berperan sebagai seorang yang buta hukum. Ada sebuah kejanggalan yang dilakukan pengacara saya sendiri yang dilaporkan ke polisi, dia memohon agar saya mengakui bahwa tindakannya adalah perintah saya.
Dalam kasus ini, saya menduga telah terjadi tindak pidana perbankan dimana tanpa sepengetahuan saya, asset jaminan bank pinjaman saya disebuah bank pemerintah telah berpindah menjadi jaminan kredit di sebuah bank swasta atas nama pihak lain. Dan juga saya menengarai data keuangan perseroan milik saya telah dimanipulir oleh Notaris rekanan bank pemerintah itu menjadikan seolah-olah perseroan milik saya tidak memiliki asset.
Manipulasi data keuangan tersebut tujuannya adalah untuk merubah kepengurusan perseroan, dengan menghilangkan data keuangan maka notaris tidak perlu merubah anggaran dasar perseroan yang harus mendapat persetujuan Menteri Hukum dan HAM.  Dengan modus seperti ini notaris berhasil menguasai asset milik saya dan membantu pengurus baru menjaminkan asset saya ke bank lain.  Covernote notaris berhasil saya dapatkan  sebagai bukti keterlibatannya dalam membantu mendapatkan kredit untuk pengurus baru hasil  kloning kepengurusan oleh notaris yang sama.
Saya menjadi orang yang berbahaya karena modus diatas melibatkan banyak pihak.  Karena saya sangat yakin bahwa perbuatan semacam ini merupakan perbuatan melawan hukum dan merugikan saya, sayapun melayangkan somasi kepada para pelaku dan selanjutnya saya serahkan kepada pengacara saya. Dengan demikian, Notaris mendapatkan asset milik saya tanpa mengeluarkan uang serupiahpun dengan argumentasi  oleh karena perseroan sudah berpindah kepemilikan maka secara otomatis assetnya ikut berpindah.
Aneh bin ajaib, pengacara saya yang dilaporkan dan ditetapkan menjadi tersangka tidak pernah disidangkan, sementara saya yang menjadi saksi justru disidangkan. Ditengah peradilan, saya dibujuk untuk berdamai yang bertujuan agar saya mengakui telah menjual perseroan dan assetnya berupa sebidang tanah lokasi perumahan. Sayapun menolak perdamaian dan bahkan sebaliknya saya memohon pembokliran sertifikat ke kantor Pertanahan. Posisi satu-satu, lawan menang karena menguasai peradilan, tapi asset berupa tanah yang telah menjadi jaminan kredit di bank lain terblokir dan menimbulkan masalah lain bagi si pelapor.
Proses hukum yang saya jalani sudah lama selesai, kasus pertanahan tidak pernah selesai sebelum pertanyaan saya terjawab mengapa terlapor tidak pernah diadili. Â Sayapun membuat laporan balik ke Polda walaupun saya tahu tidak akan diproses karena membuka permainan hukum sehingga terlapor tidak pernah diadili. Konyolnya, saya mendapat jawaban dari penyidik atas laporan saya bahwa saya sudah menerima kesepakatan kompensasi. Kompensasi apa pikir saya, apakah kompensasi tutup mulut ? Â Padalah barang bukti yang saya lampirkan adalah pengakuan berhutang dari pelapor.
Jawaban penyidik tersebut  terjawab latar belakangnya setelah saya diverbal oleh Jaksa Pengawas, pihak kepolisian tidak melimpahkan perkara pengacara saya yang sudah ditetapkan P21. Saya pertanyakan kepada Jaksa pengawas, pengacara saya berubah posisi menjadi saksi dan hadir dalam persidangan, tidak melarikan diri dan pihak kepolisian secara tehnis adalah membantu jaksa. Artinya, peran jaksalah seseorang terdakwa maju kedepan sidang. Patahlah argumentasi jaksa yang ingin melempar kesalahan prosedur kepada pihak kepolisian tidak disidangkannya pengacara saya sebagai terlapor hingga saat ini.
Dalam pelaksanaan peradilan seperti ini, tentu saja setiap laporan balik saya akan ditolak karena akan menguak penyimpangan proses hukum sebelumnya. Proses hukum ini harus diluruskan karena bukan saja hak saya yang tersandera, juga hak masyarakat banyak yang secara keseluruhan menimbulkan kerugian lebih dari Rp. 12 milyard.
Tak ada cara lain untuk mengungkap, saya mengajukan gugatan perdata yang tujuannya adalah agar masalah ini diketahui publik  terutama masyarakat yang dirugikan, mengapa hak-hak mereka tersandera. Sebuah gugatan oleh karena perbuatan melawan hukum yang ditutupi dalam sebuah proses peradilan pidana dengan dasar keterangan palsu untuk mendapatkan bargaining agar saya mengakui telah menjual dan menerima pembayaran penuh harta milik saya. Siapa sudi harta ditukar daun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H