Dukungan parpol kepada Ahok dalam pilkada 2017 lebih tepat dilakukan oleh karena terpaksa demi menyelamatkan muka menghadapi fenomena deparpolisasi. Â Hal ini lumrah saja, sebab fenomena politik saat ini yang makin liberal, peran penguasaha sebagai investor politik makin menentukan.
Biaya politik yang tinggi yang disebabkan minimnya anggaran parpol menjadikan kader sebagai mesin uang, tariff pun seolah sudah terbandrol untuk kesediaan parpol mengusung konterstan. Berpindahnya para investor politik kepada calon independen, bukan tidak mungkin menjadi sebuah pertanda para pengusaha akan lebih suka memanage sesorang untuk menjadi seorang penguasa.
Walaupun terancam terjadi penggembosan kadernya, apa yang dilakukan pemimpin parpol memiliki tujuan ganda, merangkul massa mengambang dan sekaligus merangkul para investor politik. Â Fenomena politisi kutuloncat menjadikan parpol harus mengambil strategi layaknya dalam menjalankan bisnis atau usaha umumnya karena pada dasarnya para politisi juga datang dari dunia yang sama.
Parpol dalam mendukung Ahok pastinya memiliki agenda tersembunyi dibelakangnya sebab dalam persaingan liberal seperti saat ini, siapapun yang menjadi tokoh atau figur yang mampu mendatangkan massa akan menjadi lokomotif politik. Tak heran para artis yang semula menjadi vote getter, karena adanya pemilihan langsung ikut pula terjun dalam dunia politik dan dalam faktanya para artis ini berhasil mendapatkan suara yang dominan.
Ahok saat ini boleh dikatakan sudah menjadi publik figure layaknya seorang artis yang mampu merangkul banyak massa, apakah itu sengaja dibentuk atau sukarela adalah hal lain. Namun, Ahok sudah lebih maju selangkah dari tokoh lainnya yang sudah membangun jaringan pendukung. Melihat hal yang demikian, parpol yang masih menunggu figurnya kalah dalam pergerakan penggalangan pendukung yang menimbulkan warna deparpolisasi.
Tak ada pilihan lain, mau tidak mau harus ikut Ahok sebagai lokomotifnya untuk menyelamatkan muka sehingga makin memperlihatkan bahwa sesungguhnya parpol tak memiliki tokoh yang diandalkan. Ibarat kata, parpol layaknya kendaraan umum yang memiliki trayek menuju kekuasaan bagi penumpangnya. Berhadapan dengan figur yang mampu membangun diri, parpol tak memiliki persiapan karena salah satu penyebabnya tidak ada ikatan yang kuat antara parpol dan kadernya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H