Ketika saya sedang memandikan anjing peliharaan, Azwar, itu nama teman saya,  bertanya siapa nama anjing saya yang blasteran gembala jerman. Spontan saya menjawab " Asu ". Memang saya memanggilnya Asu, tidak ada kaitannya dengan Azwar, mukanya saya lihat memerah karena saya dinilainya ngeledek. Saya tertawa melihat perubahan raut mukanya, asu itu berarti anjing dalam bahasa jawa. Dia bertanya lagi siapa nama anjing yang satunya, " ajis", jawab saya. Dia mengatakan nama bagus mengapa diberikan untuk anjing, rupanya dia kurang paham, nama itu saya ambil dari kata "najis", karena lafalnya mirip dengan Azis, dikiranya nama bagus itu saya berikan kepada binatang peliharaan saya itu.
Anjing yang sengaja dilatih untuk menggiring, bukan untuk menggigit itu banyak membuahkan cerita konyol. Ada sepasang pria dan wanita melintasi pekerangan rumah saya dengan sepeda motor tua, mungkin menurut pikiran anjing itu, penyusup harus diamankan. Dengan gerak cepat mereka mencegat dari depan dan belakang, motorpun berhenti harena mesinnya mati. Sebentar terdengar suara motor dapat dihidupkan, mati lagi diselingi suara teriakan minta tolong. Mendengar suara teriakan itu saya keluar rumah melihat apa yang terjadi, ternyata kedua anjing saya itu hanya duduk didepan dan dibelakang mereka sambil menunjukkan giginya yang sebesar jari orang dewasa. Dengan siulan, anjing saya itu langsung menghampiri saya, mengitari saya dengan ekor bekibas. Kedua orang itu marah kepada saya setelah mengetahui saya pemilik anjing tersebut, karena marah, saya beri kode lagi, anjing sayapun kembali mendekati mereka. Saya geli melihat mereka pucat pasi ketakutan, saya bermaksud beranjak dari tempat itu dan membiarkan mereka dijagai anjing saya. Kembali mereka minta tolang, sayapun tertawa melihat kejadian itu, kalau butuh pertolongan, jangan galak2, kata saya meledek. Rupanya mereka bermaksud menemui penjaga kebun saya, setelah mereka tahu saya pemilik pekarangan itu, merekapun meminta maaf.
Sebagian dari kisah awal saya memulai kehidupan baru setelah cukup lama bermukim di Jakarta, pindah ke pinggiran kota Bandar lampung yang masih sepi membuat anak saya cukup stress, mungkin kesepian. Anak yang masih balita itu setiap sore terus merengek tidak jelas keinginanya, kalau sudah begitu saya ajak berkeliling dengan mobil, tak lama tertidur. Begitu setiap hari, sebagai single parents yang mengasuh seorang anak perempuan memang agak merepotkan. Mampu membayar pembantu, baby sitter tetapi tetangga akan berpandangan negative sehingga untuk mengurus anak, pembantu hanya bersedia bekerja siang hari. Rumah yang cukup besar dan halaman yang luas membuat rasa sepi, terutama dimalam hari, untuk mengisi kesepian itu saya memelihara anjing, cukup menghibur, tetapi merepotkan juga kalau terlepas karena membuat takut orang lain. Sebuah keadaan dimana saya harus memulai dari nol lagi ditempat yang baru, yang terpikir oleh saya bagaimana memanfaatkan yang ada untuk bertahan hidup. Dengan adanya anjing2 itu hati menjadi terhibur, pikiran lebih menjadi jernih sebab sebagai single parent, masyarakat sudah memvonis tidak pantas menggaji baby sitter atau pembantu wanita untuk mengurus anak perempuan saya. Ada suatu saat saya berkata kepada tetangga saya alasan saya memelihara anjing, kalau dirumah saya ada pembantu atau baby sitter, masyarakat disini usil semua, pikiran yang ada hanya perbuatan maksiat, tidak memikirkan kebutuhan orang lain.
Setelah usaha saya berjalan, peran yang semula dilakoni anjing2 saya itu baru digantikan oleh manusia, sang anjing selalu dirantai atau dikurung dan dilupakan. Ada suatu keadaan karena pandangan norma itu kita harus mencari peran pengganti, dua ekor anjing saya pilih untuk menjaga rumah dan untuk menghibur hati sehingga saya dapat berpikir secara jernih. Keadaan yang menyenangkan membuat saya dapat bekerja lebih tenang dalam perencanaan hidup kedepan. Ketika saya memulai usaha, banyak oportunity yang saya ciptakan, orangpun banyak berdatangan ingin mengabdikan diri, begitu bahasanya. Keadaan berubah, tidak ada lagi pandangan maksiat walaupun sesungguhnya perbuatan maksiat itu menjadi lebih memungkinkan karena uang. Keadaan terus berlalu, terkungkung dalam rutinitas dapat membuat hidup membosankan sehingga saya putuskan lagi menghentikan rutinitas. Bukan keputusan yang ringan, keputusan yang mengandung resiko besar akan kegagalan. Namun keyakinan itu membuat saya terus berusaha, itulah modal yang utama sebab berhenti berusaha berarti akan membunuh diri sendiri. Namun, usaha itu tidak ada artinya jika kita tidak mengetahui jalan yang harus kita ambil. Jalani hidup dengan hati yang gembira, biarlah orang merendahkan kita karena dari kerendahan itu kita dapat naik keatas, sebaliknya yang diatas sewaktu2 dapat turun pada keadaan yang terendah.
Anjing itu najis, kotor jika kita memandangnya sebagai mahluk yang kotor, tetapi kesetiaan anjing pada tuannya adalah kebesaran Tuhan didalam menciptakan mahluk2nya. Anjing dihardik oleh yang memberinya makan akan akan menunduk, ibarat sebuah doktrin kepatuhan yang tertanam dalam alam pikiran mahluk ciptaan Tuhan. Namun sifat setia itu menjadi sirna karena anjing hanyalah seekor binatang yang kotor. Sesungguhnya sifat manusia penyayang binatang itu akan sekaligus menunjukkan sikap yang toleran dalam kehidupan bersosial dalam masyarakat. Sebuah ciri umum dari sikap manusia, tidak menyukai binatang dengan alasan bau, kotor dan lain sebagainya sesungguhnya telah menunjukkan sikap yang egois dan sombong dalam pergaulan bersosialisasi. Sikap kesombongan manusia itu pada akhirnya akan menyesangsarakan diri sendiri, perubahan iklim yang ekstrem saat ini yang menurunkan produk pangan sesungguhnya karena kerusakan alam akibat ulah manusia yang tidak menghargai alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H