Mengutip penyataan Amien Rais , Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional yang disampaikan dalam sambutannya dalam rapat akbar Forum RT/RW DKI Jakarta, Minggu (18/9/2016) pagi seperti mewakili sikap paranoid terhadap Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama yang akan bertarung mempertahankan kursinya. Tak berbeda jauh dengan sikap parpol pendukung Ahok yang mengancam memecat kadernya yang tidak mendukung keputusan partai.Â
Alhasil yang terlihat sesungguhnya adalah pertarungan diantara elit politik dengan memanfaatkan figur yang laku dijual untuk meraih dukungan. Ditengah budaya papa minta saham, papa minta upeti kuota izin import, papa minta sumbangan pengembang dan segala minta ini itu Ahok menjadi sangat penting artinya bagi kaum kapitalis yang sudah menggelontorkan dana untuk dagang property yang dibungkus pemberian "lapangan kerja".
Ganti kekuasaan biasanya berganti kiblat dan polecynya, itulah yang paling ditakuti oleh para kapitalis yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Seperti halnya menyangkut reklamasi pantai Jakarta yang akan disulap menjadi hunian mewah, Ahok masih dibutuhkan karena uang yang ditanamkan oleh pemilik modal belum siap untuk diperdagangkan yang artinya belum ada jaminan pengembalian modal plus keuntungan.
Rizal Ramli harus terpental dari kabinet karena diduga dilatar belakangi oleh keputusanya membekukan izin reklamasi dan nyatanya dicairkan lagi oleh penggantinya. Dalam arti kata, Ahok menjadi representasi dari kebijakan kekuasaan di Pusat. Â Inilah yang sesungguhnya kemungkinan yang terjadi sehingga Ahok menjadi orang yang "dipentingkan".
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah membengkaknya defisit anggaran selain berhutang dan mengurangi alokasi dana daerah, sumber lain adalah memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut "membangun" infrastruktur yang tentunya khusus untuk akses menuju property mata daganganya. Kontribusi swasta yang sesungguhnya ditanggung oleh para pembeli menjadi keikut sertaan masayarakat dalam pembangunan sehingga tetap terlihat ada denyut pembangunan.Â
Dalam pola kebijakan yang diambil pemerintah saat ini menjadikan rakyat sebagai "sumber" keuangan negara yang utama, Â sedangkan kekayaan alam yang semenstinya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat menjadi incaran kelompok kekuasaan. Kasus papa minta saham misalnya, merupakan indikasi pola pikir penguasa seperti ini yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya atau golongan. Demikian juga dengan kasus2 korupsi yang masih dirasa tebang pilih penangananya oleh KPK dan wacana pengampunan koruptor adalah indikasi lain bahwa pola yang berkembang didalam kekuasaan adalah memakmurkan golongan yang memegang kekuasaan.
Berbagai peraturan yang disebut sebagai kebijaksanaan yang mensejahterakan rakyat seperti jaminan kesehatan, Â disatu sisi memang benar dirasakan manfaatnya namun disisi lain mengikat rakyat agar berkontribusi namun dengan sangsi pinalty dan hambatan lain yang menjadi sebuah tekanan atau paksaan. Padahal, jika kita membutuhkan pelayanan kesehatan, jika menggunakan sebut saja fasilitas umum dengan cepat mendapat pelayanan walaupun harus merogoh kocek cukup besar, ada barang, ada harga.
Sudah miskin belagu, ucapan Ahok yang terkenal beberapa waktu yang lalu menggambarkan adanya diskrimanasi  strata sosial yang sesungguhnya kondisi itu juga terjadi dibelahan dunia manapun. Tidak bisa serta merta mencontoh negara maju karena latar belakang negara menjadi makmur dan kuat karena sebelumnya merupakan negara kolonialis yang mengeruk kekayaan bangsa lain dalam kurun waktu berabad abad untuk mensejahterakan rakyatnya. Demikian juga apa yang dialami bangsa Indonesia yang mengalami masa cengkeraman dan penjarahan kekayaan negeri oleh bangsa kolonial yang saat ini disebut bangsa yang maju. Bangsa kita mampu melepas diri dari jajahan bangsa lain setelah bersatu angkat senjata melawan penjajah tapi sayangnya pengelolaan pemerintahan sejak awal kemerdekaan sudah direcoki oleh tindakan korupsi.
Terlebih mental korup yang sulit dihilangkan bahkan semakin menjadi-jadi, terlebih pembangunan itu dibiayai dari berhutang dan terindikasi korupsi . maka menjadikan pembangunan itu tidak efisien yang sulit recovery oleh karena kemajuan ekonomi dari pembangunan itu. Disamping itu, sering pula kita sudah dengar alasan klasik tidak tercapainya target kemajuan ekonomi  dikarenakan situasi global menjadikan sikap anti kritik lebih mengental.
Sesungguhnya, sikap penentangan seperti yang ditunjukkan oleh Amien Rais hanyalah salah satu sikap karena kebijakan itu yang berani secara lantang disampaikan didepan umum. Namun lagi-lagi politik anti kritik, siapapun yang memberikan kritik tak pelak lagi mendapat caci maki didalam dunia media sosial maupun pemberitaan. Tak kurang Mantan Presiden Megawati menilai anak muda zaman sekarang tidak sopan seenaknya memaki-maki pimpinan nasional,  mestinya hal itu harus menjadi warning, mengapa  timbul fenomena semacam itu ? Apalagi fenomena tersebut dikaitkan dengan penganut  ajaran agama Islam sungguh tidak rasional karena memang mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H