Saat ini menurut cacatan registrasi kendaraan di Korlantas mencapai 124.348.224 unit dan terus akan semakin bertambah yang diperkirakan sekitar 10 - 15 % pertahunnya. Kebutuhan BBM secara nasional  sebagaimana catatan kementrian ESDM adalah 1,5 juta barel perhari sedangkan kapasitas kilang di Indonesia hanya sebesar 650 ribu barel perhari sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan import 850 juta barel perhari.
Tak ada pembatasan usia pakai kendaraan dan maraknya penjualan kendaraan dengan pemberian kemudahan merupakan indikator lajunya pertambahan kendaraan di Indonesia. Â Indonesia sebagai pasar otomotif yang potensial bagi negara negara produsen, selain harus menyediaakan BBM juga harus membangun infrastruktur wilayahnya.
Pembangunan infrastruktur dengan berhutang, terlebih sektor industri masih banyak ketergantungan dengan konten import, ketika nilai tukar melemah seperti saat ini akan langsung dirasakan menjadi beban ekonomi. Depresiasi nilai tukar seperti yang terjadi tahun 1998 langsung menumbangkan perekonomian Indonesia dan harus tunduk kedaulatan keuangan negara ini kepada IMF.
Walaupun cadangan devisa Indonesia masih dinilai aman, namun pengaruh eksternal sulit diprediksi. Rupiah masih tertekan oleh bayang2 kenaikan suku bunga the Fed yang mendorong investor mengalihkan investasinya ke sektor aman yaitu memburu US $.
Bagi negara negara surplus perdagangan, depresiasi mata uangnya dapat dinilai sebagai berkah karena pendapatan dalam mata uang negara tersebut menjadi membesar. Tapi bagi Indonesia, yang salah satu penyumbang defisit perdagangan adalah import BBM dan konten import industrinya dapat menjadi beban ekonomi.
Namun, budaya bangsa juga tidak kecil andlnya dalam pertahanan ekonomi. Mobil misalnya, masih dinilai sebagai lambang kedudukan sosial. Terlebih masih belum tersedianya transportasi publik yang nyaman dan menjangkau segala sudut, menjadi dorongan penggunaan kendaraan pribadi yang menimbulkan kemacetan. Kemacetan merupakan salah satu unsur pemborosan komsumsi BBM yang sebagian besar mash import.
Pembangunan infrastruktur menjadi sebuah keharusan karena populasi kendaraan yang terus meningkat, namun pembangunan dengan berhutang dari luar negeri dapat menjadi resiko ekonomi jika terjadi depresiasi mata uang. Kurs rupiah tercatat Rp. 14.4o4 per US dolar, sehari sebelumnya tercatat Rp 14.271 per US $. Melihat trend pelemahan day to day seperti ini sudah seharusnya diambil langkah agar krisis ekonomi tidak terulang.Â
Pembangunan jalan tol adalah investasi yang direct recovery dari pengenaan tarif  pengguna jasa layanan jalan tol. Sedangkan pendapatan negara dari pengenaan pajaknya. Namun, resiko pinjaman luar negeri untuk investasi tersebut menjadi resiko pemerintah. Hubungan utang piutang antar negara harus melibatkan pemerintah, begitu juga untuk pinjaman dari China yang digaransi oleh perbankan pelat merah.
Pinjaman tersebut tentunya diberikan berdasarkan kelayakan sebagaimana umumnya dianut perbankan, namun jika terjadi pelemahan nilai tukar secara otomatis terjadi penggelembungan utang karena pendapatan sebagai sumber pengembalian diperoleh dalam mata uang rupiah sedangkan pinjaman  dalam bentuk valas ( US $).
Pembangunan ifrastruktur sering kita dengar menjadi jargon keberhasilan dalam citra politik, akan menjadi malapetaka ekonomi jika pelemahan nilai tukar tidak dapat dikendalikan. Sebab mulai dari alat transportasi, penyediaan BBM sampai pembangunan infrastruktur membutuhkan devisa yang semakin mahal. Â Depresiasi nilai tukar rupiah secara langsung memiskinkan bangsa.
Untuk mengamankan pengembalian utang, tidak terelakan harus menaikan tariff layanan tol yang akan menjadi beban biaya distribusi. Ditambah masih banyaknya industri yang berbasis konten import, pelemahan nilai tukar akan merevaluasi harga2 yang menjadi hambatan produktivitas yang pada gilirannya akan memperlemah daya beli masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H