Saat ini publik  di Indonesia masih menikmati suasana Hari Raya Idul Fitri, sejenak melepaskan segala problem yang dihadapi sehari2, walaupun terjadi kenaikan harga2, lebih banyak dikaitkan dengan moment lebaran yang biasa membuat harga kebutuhan pokok merangkak naik.
Dibelahan dunia lain, perang dagang antara China dan Amerika Serikat terus berlangsung diikuti oleh kenaikan suku bunga acuan The Fed yang mendorong investor menghindar investasi riel, atau yang beresiko. Efeknya, selain terjadi pelemahan nilai tukar mata uang utama dunia lainnya, juga terjadi pelemahan harga indeks saham di Asia.
Tak terlepas juga Indonesia mengalami imbasnya, walaupun dengan kenaikan suku bunga acuan BI namun masih tetap dibayangi pelemahan nilai tukar rupiah yang berimbas pada kenaikan harga2.
Baru-baru ini Jokowi menyatakan tidak terjadi pelemahan daya beli yang disanggah oleh para politisi yang berseberangan berdasarkan fakta dilapangan terjadinya kenaikan harga2. Logika sederhananya, kenaikan harga barang pada dasarnya melemahkan daya beli. Gelontoran dana THR dan gaji ke 13 sebesar Rp 37 triliun, memang mampu meningkatkan daya beli namun itu hanya berlaku bagi PNS,TNI, Polri dan Pensiunan yang lebih bersifat transaksional.
Saat ini kurs rupiah berada pada level Rp 13.907 yang masih rentan mengalami fluktuasi sebagai imbas dari rencana kenaikan suku bunga acuan the Fed sebanyak 4 kali tahun ini.
Sepanjang minggu ini, dolar AS menunjukkan tajinya melawan mata uang  utama dunia lainnya. Melawan euro, dolar AS menguat sebesar 1,35%. Terhadap  poundsterling, dolar AS menguat 0,95%, yen, dolar AS  menguat 1,03%. dolar Australia, dolar AS menguat 2,09%. Kemudia terhadap  dolar New Zealand, dolar AS menguat 1,18%,  dolar Kanada, dolar  AS menguat 2,13%. dan melawan franc, dolar AS menguat 1,26%.
Kondisi moneter yang disebut dipicu oleh kenaikan suku bunga acuan The Fed dan juga terjadinya perang tarif perdagangan antara China dan Amerika Serikat telah mempengaruhi juga industri di Indonesia yang masih banyak konten importnya terutama untuk industri berteknologi.  Mulai dari bumbu masak, elektronik, otomotif sampai pakaian banyak kita jumpai  bermerek dagang asing. Tak heran, pengaruh eksternal sangat dominan karena negara kita masih lebih banyak bersifat komsumtif yang ditandai oleh adanya defisit perdagangan.
Bank Indonesia (BI) telah merilis angka cadangan devisa Indonesia di  akhir April 2018. Posisi cadangan devisa Indonesia di akhir April 2018  tercatat sebesar US$ 124,86 miliar. Angka ini turun US$ 1,14 miliar dari  posisi akhir Maret 2018 yang tercatat sebesar US$ 126 miliar. Angka ini merupakan angka terendah sejak setahun terkhir ini. BI mengakui bahwa penurunan cadangan devisa pada April 2018 terutama  dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri  pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah atau intervensi pasar uang di tengah fluktuasi  pasar keuangan global yang masih tinggi.
Harus kita ingat pula, pengembalian hutang luar negeri merupakan salah satu penyedot devisa pada saat jatuh tempo, dengan sendirinya akan terjadi penggelembungan hutang yang pengembalian diambil dari rakyat dalam nilai rupiah melalui pajak dan tariff. Terutama pada sektor energi yang langsung dirasakan oleh rakyat, terjadi kenaikan tariff listrik atau kenaikan BBM jika tidak dilakukan subsidy yang menggerus APBN.
Kenaikan tariff tersebut juga akan mempengaruhi cost industri yang akan memperlemah daya saing. Kenaikan harga oleh adanya perang tarif antara China dan Amerika Serikat sebetulnya menguntungkan produk Indonesia yang akan menjadi lebih murah. Namun mau tidak mau produksi di Indonesia juga terkoreksi oleh adanya pelemahan rupiah.
Pada era orde baru, Indonesia mengeluarkan kebijakan strategi eksport dan import khusunya untuk produk tekstil dimana jika melakukan eksport akan diberikan insentif sebaliknya untuk import dikenakan tariff import. Namun kebijaksanaan tersebut dibalas dengan pembatasan perdagangan produk tekstil Indonesia oleh Amerika Serikat.