Sebanyak 932 unit  bangunan di Pulau hasil reklamasi disegel oleh Pemprov DKI yang  terdiri dari 409 rumah, 212 bangunan rumah kantor (rukan), serta 313  unit rukan dan rumah tinggal yang disatukan. Gubernur DKI, Anies Bawedan beralasan,  penyegelan tersebut merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam  menegakkan hukum. Anies meminta masyarakat menaati segala peraturan  sebelum membangun sebuah proyek.
Wacana reklamasi teluk Jakarta sebetulnya sudah terdengan pada era Orde Baru tahun 90 an, namun menghilang seiring terjadinya krisis moneter. Izin prinsip sudah dikeluarkan pada masa  Gubernur sebelum Ahok, pada masa Ahok diterbitkan SK rekalamasinya. Perjalanan panjang dan lika liku pengembang menanamkan ivestasinya, keputusan pengembang menggelontorkan dana yang tidak sedikit mestinya memiliki jaminan investasi dari pemerintah.Â
Terhadap invesatsi tersebut, Anies menjelaskan,  nasib bangunan-bangunan yang disegel akan ditentukan oleh produk hukum  yang mengatur peruntukkan tanah hasil reklamasi tersebut. Ia belum bisa memastikan apakah bangunan-bangunan tersebut akan  dibongkar, dipertahankan, ataupun dialihfungsikan. Penjelasan Anies tersebut bagi investor dapat dimaknai sebagai pertanda kerugian yang luar biasa besar.Â
Penyegelan yang  dilakukan Pemprov DKI terakhir rupanya tercatat sebagai penyegelan untuk yang  ketiga kalinya. Sebelumnya, pemyegelan telah dilakukan pada 2014 dan 2016. Namun dari penjelasan Anies yang akan menyusun konsep tata guna lahan, maka sedikit terkuak permasalahan yang timbul tersebut  karena tidak siapnya pemerintah propinsi DKI dalam menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur tata guna lahan, baru akan dibuat konsepnya, tentunya IMB tidak bisa diterbitkan.Â
Jika permasalahan pada perda tata guna lahan yang baru akan dibuat konsepnya, posisi pengembang sebelumnya didorong untuk melakukan investasi yang dapat memberikan peluang kerja, karena tidak siapnya pemprov membuat aturan, sudah menggelontorkan uang begitu besar, disalahkan pula. Apakah ini demi janji kampanye? Sebab sebelumnya terjadi polemik terhadap payung hukum yang melandasi penerbitan SK reklamasi yang ditanda tangani Ahok bahkan KPK melakukan OTT terkait dengan Raperda Zonasi pantai utara Jakarta.
Negara akan maju kalau ralyatnya dilibatkan dalam pembangunan dimana fungsi pemerintah mengatur sehingga terjadi ketertiban. Dalam upaya terobosan pembangunan diatas pulau buatan itu, pemerintah bisa saja memberikan izin prinsip dengan pertimbangan peraturan akan disusul kemudian sebab bagaimanapun peraturan harus dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sehingga peraturan bukan menjadi hambatan.
Jangankan Perdanya, Raperdanya pun masih akan dibuatkan konsepnya, disatu sisi Anies mewarisi kerja pemimpin sebelumnya, disisi lain juga terikat janji kamapnye yang akan meninjau kembali izin Pulau reklamasi. Bisa dimaklumi, Ahok menemui hambatan dalam menyediakan peraturan mengingat terjadi polemik yang begitu gencar. Â Seperti umum terjadi saat ini, pemerintah beberapa kali membatalkan peraturan yang diterbitkan karena dipengaruhi oleh opini publik, begitu juga terjadi pada perizinan Pulau Reklamasi.
Memas uki era demokrasi, dimana semua orang dapat mengemukakan pendapat namun sayangnya sering terjadi hal yang kontra produktif karena persaingan politik, apalagi kalau sudah membawa "si miskin" yang dapat menimbulkan gejolak. Seperti halnya rekalamasi tersebut yang disebutkan mengorbankan para nelayan padahal proyek tersebut memberikan peluang kerja. Bagi rakyat, yang penting penghasilan terjamin maka tidak ada terjadi kerawanan sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI