Kekuasaan akan selalu bersandar kepada hukum dan peraturan sedangkan bisnis akan bersandar pada keuntungan, negara akan terbangun kalau terjadi synergi antara kekuasaan dan bisnis. Sayangnya, dalam praktek sering terjadi hukum dan peraturan menjadi alat dalam transaksi jabatan yang melahirkan OTT KPK. Termasuk dalam kaitanya dengan Izin reklamasi juga diwarnai OTT KPK yang membawa anggota DPRD DKI dan seorang pengusaha harus mendekam dibalik jeruji besi.
Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap belalu, peribahasa ini agaknya cocok dengan proyek reklamasi teluk Jakarta, walaupun terjadi tarik ulur, pembangunan tetap berjalan, di Pulau D disebut sudah berdiri 900 unit bangunan tak berizin. Pemprov DKI pun melakukan penyegelan yang menimbulkan polemik pula, apakah maksudnya harus mengurus izin atau harus dibongkar?
Kalau harus mengurus izin memang hal ini merupakan kewajiban pengembang, namun kalau harus dibongkar, mestinya dapat menimbulkan iklim ivestasi yang kurang baik.Â
Keputusan Pemprov DKI kali ini menuai polemik antar parpol, Parpol pengusung Anies Baswedan menyebut tindakan tersebut sebagai penegakan peraturan, sebaliknya parpol pengusung Ahok yang kalah dalam pilkada menyebutnya sebagai pencitraan.
Namun apa yang didebatkan, sesungguhnya penguasaha mencari untung dan bersedia mengeluarkan dana untuk melakukan reklamasi dan membangun karena paling tidak diberikan peluang dengan apa yang sering kita dengar sebagai izin prinsip. Mengantongi izin prinsip biasanya pengembang sudah melakukan aktifitas, izin menyusul. Namun yang terjadi, kegiatan pengembang tersebut menjadi sorotan publik, adu argumentasipun antara yang pro dan kontra mencuat kepermukaan hingga terjadi gugatan di PTUN.
Menjadi pengembang kadang dihadapkan pada sikap kecemburuan sosial ditengah masyarakat, banyak yang datang mencari pekerjaan, berbisnis juga tidak sedikit yang cari cari celah yang ujungnya minta sumbangan. Kondisi demikian sudah dimaklumi oleh penguasaha sehingga mencari jaminan investasi dengan memelihara "backing".Â
Segmen pulau pulau reklamsi dipastikan ditujukan kepada kalangan atas, harga rumah adalah harga psikologis, makin mahal makin bergengsi dalam kedudukan sosial. Inilah pangsa yang dibidik oleh pengembang pulau reklamasi menjadikan hunian yang eksklusiv.Â
Tanpa disadari, polemik yang terjadi justru makin mengukuhkan pulau reklamsi sebagai hunian eksklusiv kelas atas sehingga membantu pemasaran pengembang yang pada dasarnya profit oriented, harga akan naik terus karena banyak hambatan bukan sesuatu masalah sebab itu tadi, harga rumah pada dasarnya adalah harga psikologis. Apalagi ditengah problem kemacetan Jakarta yang tak kunjung terpecahkan, hunian pulau reklamasi menjadi solusi kalangan berduit.
Harus diakui, para pengembang ini adalah para cerdik pandai, paling tidak mampu menyediakan modal dan menarik pemodal besar belum lagi dari uang muka pembelian. Makin terlihat kecerdikannya, walaupun terjadi pro kontra, penjualan dan pembangunan tetap jalan sehingga pemerintah bukan hanya berhadapan dengan pengusaha tetapi juga  masyarakat pembeli. Pembeli  properti pun melayangkan gugatan kepada pengembang namun  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) telah menghentikan gugatan tanpa alasan yang jelas. Sebelumnya, sembilan konsumen ini menggugat KNI untuk  mengembalikan uang cicilan yang telah dibayarkan konsumen dengan total  nilai sebesar Rp 36,7 miliar
Maka tak mengherankan partai pengusung Ahok menyebut penyegelan tersebut sebagai pencitraan sebab kalau dilakukan pembongkaran dampak kerugian juga akan ditanggung masyarakat pembeli properti. Dalam arti kata, masyarakat sudah terlibat dan menjadi bumper oleh pengembang, bisa terjadi karena sebelumnya pengembang sudah diberi peluang untuk menguasahakan pulau2 reklamasi itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H