Berbeda dengan hasil lembaga survei lainnya yang mengunggulkan Jokowi, INES merupakan lembaga survei yang awal Mei lalu merilis hasil survei  yang mengejutkan, lembaga survey ini menggunggulkan Prabowo dengan selisih yang cukup telak. Lembaga ini merilis jika pilres dilaksanakan hari ini,  Prabowo akan mengungguli capres pertahana Joko Widodo. Presentasenya,  Prabowo meraih 50,20 persen, Jokowi 27,70 persen, Gatot Nurmantyo 7,40  persen, dan tokoh lainnya 14,70 persen. Rilis lembaga survey yang mengunggulkan Prabowo ini mendapat tanggapan beragam, bahkan tak mempercayai hasil survey tersebut.
Bukan hanya Prabowo yang hasilnya moncer di survei. Partai Gerindra yang  didirikan mantan Danjen Kopassus tersebut juga meroket. Partai  berlambang kepala garuda tersebut memuncaki hasil survei dengan angka  26,2 persen disusul PDI Perjuangan (14,3 persen), Golkar (8,2 persen),  PKS (7,1 persen), Perindo (5,8 persen), PKB (5,7 persen), PAN (5,8  persen) , Demokrat (4,6 persen), PPP (3,1 persen), Nasdem (3,1 persen),  Hanura (2,3 persen), PBB (2,1 persen), PKPI (0,9 persen),Berkarya (0,7  persen), Garuda (0,4 persen) dan PSI (0,1 persen).
Tapi survei kemudian mengundang pro dan kontra. Banyak yang tidak  percaya dengan hasil survei itu. Bahkan ada tudingan jika INES  berafiliasi dengan Partai Gerindra.
Tentu saja hasil tersebut menohok partai pemerintah, apalagi satu pihak ingin tertap bertahan dilain pihak ingin merebut menjelang pemilu dan pilpres 2019. Yang berkuasa lebih memiliki keunggulan karena memiliki polecy yang memungkinkan untuk mengambil simpati masyarakat dengan keputusan kekuasaan namun juga sebaliknya belum tentu memuaskan semua pihak.
Hal yang tidak memuaskan itulah yang digunakan sebagai amunisi untuk merebut kekuasaan. Kaus Tagar 2019 ganti presiden yang disebut oleh KPU bukan kampanye, ketika kaus itu dipertontonkan dalam debat pilkada jabar mengundang kegaduhan. Negara pada dasarnya bersandar pada hukum, bisa saja hukum itu bersikap subjektif. Â
Percaya atau tidaknya hasil sebuah survey pada akhirnya kembali kepada siapa yang memandang, pendukung Prabowo mestinya dapat menerima hasil survey tersebut dan sebaliknya pendukung Jokowi akan menganggap hasil survey tersebut tak lebih dari pencitraan. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan, siapa pembiaya survey2 politik  tersebut, bukan tidak  mungkin semangat maju tak gentar siapa yang membayar juga berlaku dalam dunia survey politik.
Ditengah alam demokrasi seperti sekarang ini, segala macam cara dihalalkan, termasuk juga politik uang. KPK ikut pula meramaikan dengan menangkapai Kepala daerah dan kontestan dalam OTT yang makin sering dilakukan. KPK seperti berjalan sendiri tak mengikuti irama politik sehingga pemerintah memandang perlu untuk  menghimbau KPK untuk tidak memproses para politisi sampai pilkada selesai.Â
Apa sesungguhnya yang dicari ? Biaya politik sangat mahal namun diperebutkan? Barangkali kita perlu menengok pada system penganggaran yang semua mengerti banyak "lebihnya" apalagi kalau bukan berupa uang. Uang inilah yang sesungguhnya menjadi tujuan utama, tak urung seorang politisi yang dalam kapasitasnya sebagai pemimpin lebaga tinggi negara harus mendekam dalam penjara. Begitu banyak yang diindikasikan ikut menikmati uang itu, namun apakah akan berhenti sampai pada "segelintir" orang itu?
Ganti presiden akankan terjadi perubahan? Korupsi tidak menjadi tanggung jawab kekuasaan karena ada lembaga yang menangani dan tidak dapat diintervensi. Siapapun yang menjadi presiden mendatang masih akan berkutat pada masalah korupsi yang disebabkan oleh biaya politik yang mahal, kira2 alasanya seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H