Diengah berita rentetan peristiwa terorisme, US dolar makin perkasa membuat nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan. Nilai konversi rupiah terhadap US $ bertengger pada level Rp 14.074 per dolar Amerika Serikat. Dari cacatatn statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) yang diterbitkan Bank  Indonesia (BI) menyebutkan jumlah utang luar negeri (ULN) secara total  tercatat US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp 5.021 triliun (kurs Rp  14.000).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati  menjelaskan bahwa jumlah total utang itu terdiri dari utang pemerintah,  utang bank sentral, dan utang swasta termasuk badan usaha milik negara  (BUMN). "Tolong bedakan jumlah total utang luar negeri, karena tidak hanya ULN  pemerintah semua," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kementerian  Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (17/5/2018).
Pernyataan Sri Mulyani tersebut cukp mengelitik, sebab pada dasarnya baik utang pemerintah maupun swasta dimata perbankan luar negeri digaransi pemerintah melalui APBN atau tanggungan rakyat juga. Hal ini karena menyangkut colletaral dari pinjaman tersebut jika terjadi gagal bayar akan dikuasai pemerintah melalui bank dalam negeri yang bertindak sebagai garantor. Jika bank garantor ambruk maka kewajiban diambil alih pemerintah, jika tidak demikian, Â colleteral akan disita oleh asing yang artinya asset2 jaminan itu akan dikuasai oleh asing.
Polecy yang ditempuh untuk menahan laju depresiasi rupiah, BI menaikkan suku bunga acuan dari 4,25 % menjadi 4,5 % yang biasanya akan diikuti kenaikan suku bunga kredit kepada masyarakat. Dengan demikian, menjelang hari Raya Idul Fitri, selain mengalami kenaikan harga kebutuhan pokok karena permintaan yang tinggi, juga karena depresiasi rupiah termasuk juga kenaikan angsuran KPR.
Sementara para pemegang kebijakan menyatakan masih dalam posisi aman dan bicara libur panjang, pelemahan nilai tukar yang disebut akibat pengaruh ekonomi global, masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra atau mengalami pelemahan daya beli.
Dalam situasi politik yang gaduh dengan alasan demokrasi, pelemahan nilai rupiah yang tidak terprediksi sampai kapan karena kebijakan untuk menahan laju pelemahan nilai rupiah tidak serta merta memperkuat nilai rupiah. Pilihan yang paling realistis adalah menaikkan suku bunga atau menggenjot ekspor untuk mendapatkan devisa lebih besar lagi.
Masalah ekonomi yang terjadi di negara manapun didunia selalu akan berimbas pada masalah politik, jika bicara politik maka tidak harus jujur uantuk mengatakan kondisi sulit sehingga yang terlihat adalah gambaran optimis Indonesia akan baik baik saja.Namun dari sudut pandang oposan kondisi demikian dapat dijadikan amunisi seperti yang disampaikan oleh Fadli Zon yang menyarankan Megawati untuk nyapres lagi karena petugas partai tidak cakap memimpin.
Ada atau tidak korelasinya, Jokowi menyindir SBY menyangkut harga BBM yang mahal semasa pemerintahannya. Polemikpun berkembang ramai yang diikuti celoteh publik.
Namun jika kita melihat sebuah lingkup yang lebih kecil seperti korporasi, makin besar pinjamanya akan terlihat makin besar korporasi tersebut. Umumnya korporasi akan bersikap ramah, menghormati  kepada pemberi pinjaman bahkan memberikan serivce dengan harapan ditmbah lagi pinjamannya.  Indonesia adalah sebuah negara berdaulat, mestinya tidak bisa didekte oleh negara penghutang seperti terjadi pada krisis ekonomi 1998 yang akhirnya didekte oleh IMF. Belajar dari krisis ekonomi yang terjadi tersebut, berhutang tetap mempunyai resiko kalau pelemahan nilai rupiah tidak dapat dibendung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H