Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelisik Polemik Antara Fahri Hamzah dan KPK

22 April 2018   12:04 Diperbarui: 22 April 2018   12:22 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)

Seperti dilansir media beberapa waktu lalu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamsah menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berubah menjadi  lembaga serupa partai politik ketimbang menjadi lembaga penegak hukum. Hal itu dikatakannya saat ia  merespon perintah putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan  kepada KPK untuk mengusut kasus Bank Century. Selain itu, Fahri menuduh KPK  berpolitik dalam penanganan perkara kepada para pihak yang sedang  tersandung maupun yang sedang dibidik.

Fahri Hamzah, sebutlah dia biicara dalam kapasitasnya sebagai ketua DPR RI yang merupakan lembaga pengawas pemerintahan, tentunya pernyataanya merupakan kritik dalam rangka untuk mengingatkan agar KPK tidak melenceng dari tugas dan kewenangan. Namun, karena Fahri Hamzah juga berasal dari Parpol, maka pernyataanya dimaknai dianggap sebagai pernyataan politik yang langsung disanggah.

Polemik semacam ini sudah sering mencuat di media pemberitaan sehingga terkesan DPR merupakan kumpulan menyerupai Parpol juga sebagaimana disebut Fahri Hamzah mengenai KPK yang memang memeiliki kewenangan yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun.

Berbeda dengan Setya Novanto, mantan ketua DPR ini sejak awal kedudukannya diwarnai dengan isu korupsi yang dilakukannya dan faktanya saat ini menjadi pesakitan KPK.   Dengan posisi demikian, Setya Novanto tidak menjadi tokoh yang berani vokal karena memiliki handicap sebagaimana Fahri Hamzah.

Belum hilang dari ingatan ucapan dua tokoh ini yang viral beberapa waktu silam, "gantung di Monas" ucapan Anas Urbaningrum untuk mengesakan dirinya tak korupsi dan "potong jari tangan" ucapan Akil Mochtar yang keduanya secara hukum sudah ditetapkan  bersalah karena korupsi. Yang menjadi pertanyaan, "kevokalan" Fahri Hamzah karena dirinya bersih?  Sepanjang ini hanya Fahri dan Tuhan yang tau.

Fahri Hamzah memang sering diisukan juga menerima suap yang langsung dibantahnya. Namun bisa saja, seseorang tak bersalah harus mendekam dalam bui seperti halnya yang dialami oleh Karta dan Sengkon yang fenomenal yang melahirkan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Berbicara tentang penerapan hukum, penegak hukum boleh menafsirkan undang undang, ketidak tepatan penafsiran ini beerapa kali menjadi upaya judicial review di Mahkamah konstitusi. 

Demikian pula yang saya hadapi, pertanyaan mengapa penyidik menolak anggaran dasar perseroan yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Ham? Tidak diterimanya anggaran dasar perseroan tersebut memungkin seseorang dapat menguasai perseroan milik orang lain bekerjasama dengan penyidik kepolisian sebab, tanpa anggaran dasar perseroan penyidik dapat menafsirkan peralihan perseroan seperti jual  beli putus sesuatu barang yang  tidak diperlukan syarat sebagaimana undang2 perseroan.

Pertanyaan saya akhirnya terjawab, Mahkamah Agung mengakui terjadi kekosongan hukum untuk penanganan perkara korporasi sehingga dikeluarkan Perma no 13 tahun 2016. Namun sayangnya, beberapa pengusaha pengembang sudah terlanjur babak belur karena penyidik langsung membidik pribadi direkturnya pada antara Perseroan dan pribadi adalah subjek hukum yang berbeda.

Kembali pada kedudukan Fahri Hamzah sebagai wakil ketua DPR RI, DPR adalah lembaga yang mengesahkan undang-undang yang dalam implementasinya terjadi multi tafsir, demikian juga dengan undang2 KPK, beberapa waktu lalu ada wacana merevisi UU KPK, namun reaksi publik telah mengurungkan rencana DPR untuk merevisi UU KPK. 

Sehingga, boleh dikatakan, semua pihak memiliki tafsiran  masing-masing yang diungkap di media yang akhirnya menjadi polemik. Inilah buah dari kebebasan berpendapat, semua merasa boleh menafsirkan yang akhirnya hanya menjadikan kegaduhan. Namun, jika undang2 itu menguntungkan kelompok dan golongan seperti halnya menyangkut kewenangan DPR untuk mengesahkan anggaran yang memungkinkan peluang untuk korupsi seperti halnya kasus mega korupsi E-KTP, suara Fahri Hamzah mungkin akan berbeda lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun