Tagar Jokowi dua Periode dan Tagar Ganti Presiden makin marak di media sosial, dua orang sahabat sejak masa sekolah dasar ini beda pandangan, berseteru di media sosial. Namun dalam pergaulan sehari hari tak ada perbedaan pandangan, sama sama mencari uang untuk menafkahi keluarganya masing masing.
Dunia medsos menjadi dunia lain dalam kehidupannya, dengan bebas mengekpresikan pandangan politknya, mereka itu bukanlah team sukses, namun layaknya supporter yang menjagokan pilihannya.
Yang terjadi sesungguhnya adu gengsi dalam ketepatan memprediksi yang lebih didasarkan suka dan tidak suka, mereka akan langsung men share berita sebagai dasar prediksinya. Sayangnya, berita bisa saja tidak independen atau bahkan hoax sehingga banyak yang terjebak membuat pernyataan tidak benar.Â
Kalau berita dari pemegang keputusan atau kebijakan pemerintah pastinya membenarkan polecy pemerintah, sebaliknya dari pihak oposan, namanya juga oposisi selalu bertolak belakang dengan pemerintah. Alhasil, dunia medsos lebih sering diwarnai kegaduhan, bahkan umpatan dan caci maki.
Ditengah hiruk pikuk capres dan cawapres, diluar terjadi perang dagang antara dua raksasa ekonomi, China dan Amerika Serikat yang saling mengenakan tarif impor produk yang akan membuat produk menjadi lebih mahal.
Tentu saja pengenaan tarif perdagangan ini harus dibayar oleh rakyat pembeli kedua negara dan menimbulkan gejolak pasar uang yang mempengaruhi mata uang negara2 berkembang seperti halnya Indonesia.
Beberapa pekan terakhir rupiah mengalami depresiasi yang tentu saja menjadikan barang import menjadi lebih mahal yang membuat daya beli makin melemah. Ditambah lagi defisit perdagangan makin melebar, semakin menjadikan rupiah rupiah makin melemah. Setiap point pelemahan rupiah akan menggelembungkan hutang luar negeri Indonesia.
Depresiasi rupiah bebeberapa waktu belakangan luput dari perhatian, tertutup oleh hiruk pikuknya tagar ganti presiden dan Jokowi dua periode. Artinya, rakyat sudah kebal dengan gejolak harga, asal tidak kelaparan tidak terjadi kemarahan rakyat. Dunia politik lebih asyik dengan  survey popularitas membuat biaya politik makin mahal untuk menggapai terpopuler.
Kini, kita sudah lazim menjumpai baleho layaknya  pengenalan produk dagang memperkenalkan tokoh yang bersaing dan tentunya biaya untuk populer tidaklah kecil. Inilah problem demokrasi kita, kebebasan itu sangat mahal.
Mahalnya biaya politik ini masih menjadi pendorong  terjadinya penyalahgunaan jabatan yang harus pula dibayar lamanya hidup dalam kurungan. Resikonya besar, namun diperebutkan, antara membingungkan dan tidak membingungkan, tergantung sudut pandang yang menilainya.
Korupsi memang sudah  terjadi sejak awal kemerdekaan, sulit diberantas oleh pemimpin otoriter sekalipun. Lalu kita berharap pemimpin seperti apa ? Menjadi pemimpin harus kuat dari segala hal, terutama penyediaan logistik.