Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politikus Saling Sikut, Korupsi dan Suap Jalan Terus

30 Januari 2017   03:46 Diperbarui: 30 Januari 2017   08:24 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pengangkatan Patrialis Akbar kini mencuat kepermukaan dan menyeret nama SBY,  Sebelumnya, pengangkatan Patrialis itu juga sempat dipermasalahkan oleh sejumlah pihak karena proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.

 Dan  juga keppres itu pernah  digugat dan dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, namun, pemerintah banding dan keputusan itu dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan juga Mahkamah Agung.

Patrialis Akbar yang ditunjuk langsung SBY ini, sejak awal pengangkatannya  menuai kontrversi dan tertangkapnya Patrialis dalam sebuah OTT yang dilakukan oleh KPK seoalah menjadi pembenaran alasan pihak2 yang mempersoalkan pengangkatannya.

Cerita masayarakat yang memerlukan keadilan dan kepastian hukum, ditengah mental yang sudah  kental dengan budaya suap dan korup, terlebih hukum disebutkan menjadi panglima, kita dihadapan pada situasi biaya yang luar biasa mahalnya.

Mulai dari oknum pengadilan tingkat pertama sampai garda konstitusi, begitu juga dengan wakil rakyat dan kepala daerah tak luput terjaring oleh operasi intelejen KPK.  Hukum memerlukan bukti dan saksi, aturan normatif tersebut disiasati para "ahli hukum" bagaimana caranya menghilangkan jejak. Bisa dibayangkan kalau OTT KPK harus meminta izin pengadilan terlebih dahulu seperti rencana revisi UU KPK yang urung digoalkan oleh wakil rakyat beberapa waktu silam.

Salah satu penyebab sulitnya memberantas karupsi karena hukum dapat diatur dengan uang. Beberapa kali KPK melakukan OTT terhadap aparatur hukum "nakal" dan "Wakil Rakyat", bukan membuat jeri karena resiko yang dihadapi justru sebaliknya menaikan tarif pengaturan hukum atau jasa transaksi jabatan.

OTT KPK yang mencokok Damayanti Wisnu Putranti, Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP tahun silam ternyata kemudian juga terungkap melibatkan anggota DPR RI lainnya dari Fraksi PAN dan Golkar. Demikian juga OTT terhadap ketua MK Akil Mochtar ternyata tak membuat hakim MK jeri, Patrialis Akbar juga mengalami hal yang sama dengan ketua MK karena perbuatanya.

Buah dari reformasi, semula korupsi  tersentralisir namun kini korupsi dan suap sudah menjalar keseluruh lini dan sendi. Cerita tentang jargon politik bersih dan merakyat langsung mendapat simpati karena rakyat mendambakan pemimpin bersih dan jujur.

Harapan tinggal harapan, Rezimnya berganti tetapi isinya sama saja, kalau sebelumnya menjadi loyalis partai A, berikutnya sudah berganti jaket partai B. Adalah sebuah dampak dari pemilihan langsung dimana figur yang populer lebih memiliki kans untuk menang dalam persaingan.

Sayangnya figur populer, baik hati, bersih, suaranya didengar adalah mereka yang bergelut dalam kerohanian justru menjadi bulan2an karena tak sepaham mendukung figur politik yang populer. Hal ini merupakan indikasi kehidupan sosial kemasyarakatan yang religius sebagai mana diaku oleh masayarakat kita tak boleh mencampuri norma politik yang liberal.

Parpol lebih cenderung menerima siapa saja, yang terpenting figur itu laku dijual namanya oleh lembaga survey.  Diperparah lagi, publik terbawa irama salaing menjatuhkan, mampu menjatuhkan dan membuat malu lawannya adalah sebuah keberhasilan seperti nampak dalam warna debat cagub DKI.  Tanpa disadari, masayarakat diberi tontonan politik saling sikut dan hal inilah merupakan salah satu bibit perpecahan dalam masyarakat. Kalau pemimpin saling sikut, bukan tidak mungkin rakyat akan menirunya, paling tidak fenomena tersebut terlihat dalam media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun